Barirah dan Rumah Tangga Tanpa Cinta
Daftar Isi
Ini adalah kisah
percintaan klasik yang terjadi di kala tanah-tanah berpasir Madinah beraroma
nubuwat.
Mughits. Itulah
nama lelaki berkulit hitam ini. Ia merupakan salah seorang budak keturunan
Afrika yang terdampar di kota Makkah. Tuannya bernama Abu Ahmad bin Jahsi Al
Asadi, salah seorang shahabat Rasulullah yang telah memeluk Islam sejak di
Makkah. Sebagai seorang hamba sahaya, Mughits merupakan budak yang amanah,
jujur, dan bersemangat dalam mengabdikan dirinya pada sang tuan. Oleh karena
itu, Abu Ahmad pun memperoleh banyak manfaat atas pengabdian budaknya itu.
Sehingga tidaklah aneh jika kemudian Abu Ahmad juga sangat menyayangi dan
mengagumi Mughits.
Ketika Abu Ahmad
menawarkan Islam pada Mughits, ia pun serta merta menerima dan meresapkannya
dalam jiwanya. Hal ini semakin membuat Abu Ahmad menyayanginya dan selalu
mengabulkan permintaan-permintaan sang budak. Termasuk keinginan Mughits untuk
menikah. Bagaimanapun juga, ia adalah lelaki yang memiliki kecenderungan untuk
menentramkan hatinya dan melabuhkan jiwanya pada seorang perempuan. Maka, Abu
Ahmad pun menyanggupi permintaan dari Mughits, tapi dengan syarat bahwa
pernikahannya dilakukan setelah mereka Hijrah ke Yatsrib, Madinatun Nabi.
Hijrah ke
Madinah pun terjadi.
Perjalanan hijrah
Abu Ahmad ini tidak hanya menyertakan Mughits, tapi juga keluarga Abu Ahmad
juga. Di perjalanan menuju Madinah, Abu Ahmad menyenandungkan syair-syair yang
ditujukan pada isteri yang dicintainya. Melihat romantisme sepasang suami isteri
itu, makin menggebulah tekad dan keinginan Mughits untuk membina rumah tangga.
Disampaikannya keinginan hatinya lagi kepada Abu Ahmad. Berulang-ulang Mughits
menyampaikan keinginannya itu pada sang tuan, seakan-akan keshabaran Mughits
untuk menanti hingga ke Madinah sudah habis.
Sampailah rombongan
Abu Ahmad di Madinah. Mereka pun mencari tempat tinggal hingga diperoleh yang
sesuai. Saat itu, Mughits lagi-lagi datang kepada tuannya dan menagih janjinya.
Maka dengan lembut Abu Ahmad pun menyuruhnya untuk mencari perempuan yang yang
akan dijadikannya calon isteri yang sepadan dengannya, yakni yang juga
berstatus sebagai budak.
Maka, mulailah
Mughits mencari tambatan hatinya diantara perempuan-perempuan budak di
perkampungan Madinah. Hingga akhirnya hatinya terpaut dengan seorang budak
perempuan berkulit hitam yang cantik jelita di salah satu rumah penduduk Anshar
dari Bani Hilal. Barirah nama perempuan cantik itu.
Mughits segera
menemui Abu Ahmad dan memberikan kabar itu. Disampaikan keinginan hatinya untuk
mempersunting Barirah menjadi separuh jiwanya. Maka, Abu Ahmad pun segera
mendatangi keluarga Bani Hilal. Disampaikannya maksud kedatangannya untuk
meminang Barirah bagi sahayanya. Mereka pun menerima baik keinginan Abu Ahmad.
Disampaikanlah kabar itu kepada Barirah, tapi ternyata ia memberikan jawaban
bahwa ia tidak menyukai lelaki yang akan dinikahkan dengannya itu. Ia pun
merasakan kesedihan dan masuk ke kamarnya sembari menangis.
Keluarga Bani Hilal
pun menyampaikan kepada Abu Ahmad bahwa mereka telah meridhai pinangan Mughits
bagi sahayanya, tapi Barirah sendiri menyatakan tidak menyukai Mughits dan
tidak menghendaki pernikahan itu. Mereka pun meminta waktu selama beberapa hari
untuk membujuk dan melunakkan hati Barirah agar mau menerima pinangan itu.
Tatkala Mughits
mendengar kabar bahwa Barirah tidak menerima pinangan itu, ia merasa sangat
terpukul dan sedih. Ia meminta sang tuan untuk terus membujuk majikan Barirah
agar hati Barirah luluh dan mau menerimanya. Ia katakan pada Abu Ahmad bahwa ia
telah mencintai Barirah dan tidak mau menikah dengan perempuan selainnya. Abu
Ahmad pun beberapa kali datang ke kediaman Bani Hilal untuk membujuk keluarga
Barirah menerima Mughits.
Karena
terus-menerus dibujuk oleh majikannya, Barirah pun menerima pinangan Mughits,
meski hatinya masih merasakan keengganan. Betapa bahagia Mughits mendengar
kabar itu. Pernikahan antara Mughits dan Barirah pun dilangsungkan. Di satu
sisi, Mughits sangat bahagia karena telah mempersunting perempuan yang
dicintainya. Sementara di sisi yang lain, Barirah merasa sangat tertekan karena
terpaksa menerima pernikahan itu. Ia merasa telah menipu dirinya sendiri dengan
menikahi lelaki yang tidak diinginkannya.
“Demi Allah,” kata
Barirah, “Aku tidak menginginkan dan tidak menyukainya, tapi apa yang bisa
kuperbuat, takdir pastilah menang.”
Setelah menikah,
Barirah menjalani kehidupan rumah tangga dengan Mughits. Ia menjalani
kehidupannya layaknya seorang isteri pada umumnya, melaksanakan pemenuhan
kewajiban-kewajiban seorang isteri, terkecuali rasa cinta. Ia pun juga
bersosialisasi dan bergaul dengan masyarakat umum yang kala itu sedang
membangun peradabannya di Madinatun Nabi. Salah satu tempat yang sering
dikunjungi Barirah adalah di deretan bilik ummahatul mukminin, terutama bilik
Ummul Mukminin Aisyah. Ia sering kali datang ke bilik itu dan membantu
pekerjaan-pekerjaan Aisyah. Karena itu, antara Barirah dan Aisyah pun terbina
saling keterpercayaan. Barirah pun mengungkapkan rasa di dalam hatinya pada
Aisyah.
“Demi Allah,”
katanya penuh kegundahan, “Aku dipaksa oleh keluargaku untuk menikah dengannya.
Dalam hatiku tidak ada kecintaan kepadanya, dan aku tidak tahu apa yang harus
aku perbuat.”
Dengan kelembutan
seorang shahabat pada karibnya, Ummul Mukminin Aisyah menasihati Barirah,
“Wahai Barirah, bertakwalah kepada Allah dan bershabarlah dengan suamimu.
Sungguh, ia adalah lelaki shalih, semoga Allah menghilangkan kegundahanmu dan
menganugerahkan kecintaan kepada suamimu.”
Barirah pun mencoba
menuruti nasihat Ummul Mukminin Aisyah. Dicobanya mencintai suaminya, Mughits.
Namun, semakin ia mencoba mencintainya, yang dirasakannya adalah timbulnya
kebencian pada Mughits yang demikian kuat dan menjadi-jadi.
“Demi Allah, wahai
Ummul Mu’minin,” ujarnya makin gundah, “Sungguh hatiku ini sangat membenci Mughits,
aku sudah berusaha mencintainya dan aku tetap tidak bisa. Aku tidak tahu apa
yang bisa ku lakukan dalam hidup bersamanya..”
“Bersabarlah, wahai
Barirah,” kata Ummul Mukminin Aisyah kembali menasihatinya, “Semoga Allah
memberikan jalan keluar dari masalahmu ini.”
Mughits yang
mendapati sang isteri bersikap membencinya sedemikian rupa. Ia pun merasakan
kesedihan yang mendalam. Rasa cintanya ternyata berbalas kebencian dari sang
isteri. Namun, ia tidak menyerah pada keadaan. Ia terus berjuang untuk meluluhkan
hati isterinya agar mencintainya. Dimintanya Abu Ahmad menasihati isterinya
agar bersikap lunak dan lembut kepadanya. Hasilnya tidak membawa perubahan.
Dimintanya keluarga Barirah untuk membantunya, tapi mereka tidak terlalu
merespon keinginan Mughits itu.
Melihat Mughits
yang makin diliputi kesedihan, Abu Ahmad pun menghiburnya, “Kenapa kamu ini,
wahai Mughits? Sepertinya kamu terlalu memikirkan Barirah, perempuan selain dia
kan banyak.”
“Tidak, demi Allah,
wahai Tuanku,” jawabnya penuh kesedihan, “Aku tidak bisa membencinya dan tidak
bisa mencintai perempuan selainnya.”
“Kalau begitu
bersabarlah, sampai ia melahirkan anakmu, semoga setelah itu hatinya mulai
berubah dan bisa mencintaimu.”
Harapan dalam hati
Mughits pun berbinar berpendar. Ia sangat berharap bahwa jika nanti anaknya
dengan Barirah lahir, ia akan menjadi wasilah bagi Barirah untuk kemudian
mencintainya. Barirah hamil. Hingga ketika anak yang dikandungnya telah lahir,
ternyata Barirah tidak menunjukkan tanda-tanda ia mulai mencintai Mughits,
malah kebenciannya pun semakin dalam. Tidak pernah muncul keinginan dalam
hatinya untuk melahirkan seorang anak dari Mughits.
Saat dalam keadaan
nifas pasca melahirkan, Ummul Mukminin Aisyah mendatanginya untuk
bersilaturahim, mengucapkan selamat, dan mendoakannya. Namun, Barirah malah
menangis meratapi kemalangan dirinya melahirkan seorang anak dari seorang
lelaki yang dibencinya.
“Wahai Barirah,”
kata Ummul Mukminin Aisyah, “Mungkinkah engkau untuk membeli dirimu, jika
engkau lakukan hal ini maka masalahmu akan bisa teratasi dan engkau berhak atas
dirimu sendiri, dan jika engkau mau, engkau bisa berpisah dari suamimu.”
Ummul Mukminin
Aisyah memberikan saran berdasarkan hukum Islam, bahwa seorang perempuan
merdeka yang bersuamikan seorang budak memiliki hak khiyar (memilih) untuk
melanjutkan pernikahannya atau bercerai.
“Aku telah mencoba
berkali-kali memohon mereka untuk memerdekakanku, tapi mereka tidak
menerimanya, seolah-olah tidak ada budak selainku yang bisa membantu mereka.
Tetapi aku akan tetap bersabar sehingga Allah menghilangkan rasa sedih dan
gundahku,” kata Barirah menjelaskan.
Setelah berlalu
beberapa tahun. Keluarga Bani Hilal pun menyetujui pembebasan diri Barirah
dengan pembayaran sejumlah uang. Bukan main gembira hati Barirah atas kesepakatan
itu.
Barirah pun
mendatangi Aisyah dan meminta bantuannya, “Wahai Aisyah, sesungguhnya saya
telah mengadakan janji dengan tuanku untuk memerdekakan diriku, dengan sembilan
uqiyah, pada setiap tahun satuuqiyah, maka bantulah saya.”
Saat itu Barirah
sama sekali belum membayar angsuran penebusan dirinya. Satu uqiyah adalah dua
belas dirham. Imam An Nasa’i mencatat riwayat ini dalam Sunan.
“Kembalilah kepada
keluargamu,” kata Ummul Mukminin sebagaimana dicatat dalam Shahih Muslim, “Jika
mereka mau saya akan membayar tebusanmu, dan hak perwalianmu padaku, maka saya
akan melunasinya.”
Hak perwalian
adalah hak seorang majikan bila seorang
budak yang telah dimerdekakan meninggal dunia sementara ia meninggalkan harta,
maka hartanya itu diwarisi oleh orang yang memerdekakannya.
Barirah pun kembali
kepada keluarganya dan menyampaikan apa-apa yang disampaikan oleh Ummul
Mukminin Aisyah. Namun, keluarga Bani Hilal mengatakan, “Apabila ia mau
mengharapkan pahala maka hendaknya silakan ia melakukan dan perwalian itu untuk
kami.”
Barirah pun datang
pada Ummul Mukminin Aisyah kembali. Ia menceritakan perihal keinginan
majikannya untuk tetap mempertahankan hak perwalian itu. Ummul Mukminin Aisyah
pun memberitahukan hal itu kepada Rasulullah.
“Wahai Rasulullah,”
kata Ummul Mukminin Aisyah dalam Sunan An Nasa’i, “Barirah datang kepadaku
meminta bantuan menyelesaikan perjanjian pembebasannya, kemudian saya katakan,
‘Tidak, kecuali mereka menghendaki saya menghitung bagi mereka satu hitungan
dan perwaliannya adalah untukku.’ Kemudian ia menyebutkan hal tersebut kepada
tuannya, lalu mereka menolak kecuali perwalian untuk mereka.”
Beliau lantas
bersabda seperti dicatat Imam Muslim dalam Shahih, “Tebuslah dan merdekakanlah
dia, karena hak perwalian itu bagi orang yang memerdekakan.”
Kemudian Rasulullah
berdiri di hadapan manusia seraya memuji Allah dan mengagungkanNya, “Apa urusan
orang-orang yang memberikan persyaratan yang tidak pernah ada pada Kitabullah.
Barangsiapa yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam Kitabullah,
maka ia tidak berhak mendapatkannya, walaupun dia mensyaratkan seratus kali,
kerana syarat Allah lebih berhak untuk dilaksanakan dan lebih kuat.”
Dalam riwayat
Bukhari, Rasulullah menambahkan, “Sesungguhnya perwalian (seorang budak) adalah
milik orang yang memerdekakannya.”
Ummul Mukminin
Aisyah menyerahkan uang sebesar sembilan uqiyah kepada Barirah untuk menebus
dirinya. Barirah membawa uang itu kepada majikannya dan menebus dirinya. Ia
mendatangi Ummul Mukminin Aisyah dengan status baru.
“Alhamdulillah,
wahai Ummul Mu’minin, Allah telah menghilangkan duka citaku dan menyingkapkan
kegundahanku, dan aku telah mendapatkan sesuatu yang besar dengan keshabaran.”
Barirah pun
menyampaikan pada Ummul Mukminin Aisyah bahwa ia akan segera meminta kepada
Rasulullah untuk memisahkan dirinya dengan suaminya, Mughits. Ia pun menemui
Rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku memohon, kiranya tuan sudi menceraikanku
dari suamiku Mughits, aku sekarang telah merdeka sedangkan dia masih sebagai
budak, aku sudah tidak kuat lagi hidup bersamanya. Tanyalah pada Ummu Abdillah,
Aisyah. Pasti beliau akan memberitahukan bagaimana nasib kehidupanku
bersamanya.”
Dalam Musnad Ahmad,
Rasulullah memberikan pilihan pada Barirah tanpa Barirah meminta dipisahkan,
“Pilihlah jika kamu mau, apakah engkau akan tetap tinggal di bawah budak ini
(tetap menjadi istrinya) atau engkau berpisah darinya.”
Sementara dalam
Sunan Ad Darimi, Rasulullah menganjurkannya agar ia berbuat baik terhadap
suaminya. Namun, Barirah berkata kepada Rasulullah , “Bukankah aku boleh
berpisah dengannya?”
Beliau menjawab,
“Benar.”
Barirah pun
berkata, “Sungguh aku telah berpisah darinya.”
“Seandainya suamiku
memberi kepadaku ini dan itu,” kata Barirah dalam Shahih Bukhari, “Itu semuanya
tidak menjadikanku tinggal bersamanya.”
Dalam riwayat lain
ia mengatakan, “Kalaulah suamiku memberiku demikian dan demikian, aku tidak mau
bermalam dengannya.”
“Aku tidak suka
tinggal bersamanya, dan aku memiliki demikian dan demikian,” katanya dalam
Sunan Abu Dawud. Lalu Barirah memilih
untuk sendiri.
Maka,
Rasulullah pun mengutus seseorang
mengabarkan bahwa Barirah telah memutuskan untuk bercerai dari Mughits dan
diterima oleh Rasulullah . Saat kabar itu didengar oleh Mughits, ia pun jatuh
pingsan. Kekhawatirannya menjadi kenyataan. Kesedihan begitu mendalam
mencabik-cabik hatinya. Harapan seakan tidak menyisa lagi dalam perjalanan masa
depannya. Bumi terasa menyempit dan masa depan seakan suram jika ia terpisah
dari isteri yang sangat dicintainya itu.
Rasulullah
memerintahkan Barirah untuk ber’iddah selama tiga kali quru’ layaknya perempuan
yang baru bercerai lainnya. Abdullah bin Abbas menceritakan bahwa ia melihat
Mughits berjalan di sepanjang lorong-lorong Madinah mengikuti Barirah. Ia
menangis tanpa henti. Airmatanya menetes membasahi jenggotnya. Mughits mengiba
dan terus-menerus merayu Barirah agar ia mau kembali kepadanya dan menjadi
isterinya lagi. Namun, Barirah tetap keukeuh pada pendiriannya untuk berpisah
dari Mughits.
Mughits pun meminta
bantuan pada Rasulullah , dalam Sunan Abu Dawud, “Wahai Rasulullah, bantulah
aku berbicara kepadanya.”
Rasulullah yang
kala itu bersama Abbas bin Abdul Muthalib pun bersabda dalam Shahih Bukhari,
“Wahai Abbas, tidakkah kamu takjub akan kecintaan Mughits terhadap Barirah dan
kebencian Barirah terhadap Mughits?”
“Betul,” jawab
Abbas, “Demi Zat Yang Mengutusmu, sungguh urusan mereka sangat aneh.”
Kemudian
Rasulullah memanggil Barirah. “Wahai
Barirah,” kata beliau, “Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, ia adalah
suamimu dan ayah anakmu.” Dalam Shahih Bukhari, Rasulullah berkata, “Seandainya kamu mau meruju’nya
kembali.”
“Wahai Rasulullah,
apakah Anda menyuruhku?” tanyanya.
Barirah tahu bahwa
jika Rasulullah telah memerintahkan sesuatu, maka tiada pilihan lain bagi
seorang muslim selain untuk memenuhi perintah tersebut. Karena itu, ia
menanyakan perihal permintaan Rasulullah
untuk rujuk dengan Mughits. Namun, jika Rasulullah hanya memberikan
saran, maka ia sudah mempersiapkan jawaban.
“Aku hanya
menyarankan,” kata Rasulullah dalam satu riwayat Shahih Bukhari. Dalam Musnad
Ahmad dan riwayat Shahih Bukhari yang lain, Rasulullah berkata, “Innama ana
asyfa’u. Sesungguhnya saya hanyalah seorang penolong.”
Maka, dengan tegas,
Barirah pun menjawab, “Sesungguhnya aku tak berhajat sedikit pun padanya.”
Berakhirlah sejarah
mencatat kisah cinta Mughits dan benci Barirah. Keduanya memberikan satu
pelajaran yang berharga tentang cinta, kebencian, dan keshabaran. Seluruhnya
terlingkupi dalam pilihan, keputusan, dan konsekuensinya. Bahkan dalam ilmu
fikih, kisah Mughits – Barirah memberikan hukum yang terang dan sangat penting
tentang hukum-hukum munakahat dan kemasyarakatan.
Mughits mencintai
perempuan shahabiyah itu dengan cinta yang demikian dalam hingga berkali-kali
membawanya pada ketertutupan akal sehatnya. Ia hanya mau menikah dengan
perempuan yang dicintainya, meski telah ditolak. Bahkan ia menyatakan tidak
akan bisa mencintai perempuan yang lain. Sebuah pernyataan yang hakikatnya
berlebihan.
Kondisinya semakin
diperparah dengan karakter melankolis yang mengakar kuat dalam dirinya. Yang
demikian menjerembabkannya pada kondisi-kondisi yang tidak diinginkannya hingga
ia seakan-akan terus membiarkan dirinya dalam penderitaan dan kesedihan yang
timbul atas sebuah kondisi. Ia tidak mau bangkit atas keterpurukannya.
Namun,
perjuangannya untuk meraih cinta sang isteri sungguh luar biasa. Bertahun-tahun
diupayakan yang terbaik dan berjuang agar sang isteri mencintainya. Namun,
hasilnya tidak seperti yang diharapkannya. Sang isteri makin membencinya.
Sementara Barirah,
ia mengambil keputusan menerima pinangan Mughits dengan rasa keterpaksaan.
Mungkin ia lupa bahwa menerima pinangan seseorang itu adalah sebuah keputusan
besar yang akan memberikan konsekuensi yang demikian berat yang imbasnya ada di
dunia dan akhirat. Ia akan memiliki kewajiban-kewajiban yang demikian banyak
bagi suaminya. Dan jika ia tidak memenuhinya, maka ia telah durhaka.
Keshabarannya terus
membersamai Mughits dalam sekian tahun yang panjang adalah sebuah kekuatan yang
dahsyat. Ia membenci seseorang yang lain yang tinggal bersama, sekamar, bahkan
seranjang. Ia juga harus melayani suaminya yang dibencinya itu bertahun-tahun
lamanya. Sungguh perjuangan yang sangat hebat. Ia berusaha mencintai orang yang
mencintainya, tapi malah kebencian yang makin terasa. Meski begitu, sejak lama
ia berusaha lepas dari sang suami dan memperoleh kebebasannya sebagai manusia
merdeka dan perempuan merdeka sekaligus. Keshabarannya menepi. Padahal
sejatinya keshabaran itu laksana samudera yang mampu menampung seluruh air di dunia.
Seteleh Barirah
dibebaskan dari keluarga bani Hilal, ia pun mengabdikan dirinya untuk melayani
Ummul Mu’minin Aisyah yang telah menebusnya. Maka tidaklah mengherankan jika
antara Ummul Mu’minin Aisyah dan Barirah terjalin ikatan yang semakin kuat.
Bukan hanya sekadar majikan dan khadimat, tetapi hingga seakan-akan bersaudara.
Pasca kemerdekaan
dirinya, orang-orang mengirimkan zakat sedekah berupa daging kambing kepadanya.
Sebagian daging kambing itu dihadiahkannya kepada Ummul Mu’minin Aisyah. Ia pun
memasaknya dalam sebuah periuk atau kuwali. Rasulullah SAW masuk ke dalam rumah
dan melihat daging dalam periuk itu. Namun, yang disuguhkan kepada beliau saat
itu adalah roti dan lauk dari rumah. Maka, beliau pun bertanya, “Bukankah tadi
aku melihat periuk yang berisikan daging?”
“Ya, benar,” kata
mereka, “Akan tetapi daging itu adalah daging yang disedekahkan kepada Barirah,
sementara Anda tidak makan harta sedekah.” Keluarga Rasulullah SAW adalah
orang-orang yang dilarang memakan harta zakat dan sedekah.
Kemudian Rasulullah
SAW bersabda, “Bagi Barirah adalah sedekah, sementara untukku adalah hadiah.”
Imam An Nasa’i,
Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ad Darimi, Imam Al Bukhari, dan Imam Malik
mencatatnya dalam kitab hadits masing-masing, dan ini adalah lafadz dari Shahih
Bukhari. Dari hadits tentang daging sedekah ini, dapat diambil hukum bahwa
perpindahan kepemilikan harta dapat merubah status harta itu.
Saat terjadi
peristiwa haditsul ifk, Rasulullah datang dan menanyai Barirah perihal Ummul
Mu’minin Aisyah yang kala itu difitnah oleh kaum munafikin telah berselingkuh
dengan Shafwan bin Al Muathal dalam perjalanan pasca perang melawan Bani
Musthaliq.
“Wahai Barirah,
pernahkah engkau melihat sesuatu pada ‘Aisyah yang membuatmu bimbang?” tanya
beliau.
“Demi Zat Yang mengutusmu
dengan Al Haq,” jawab Barirah, “aku tidak pernah melihat sesuatu pun yang
pantas kucela, kecuali dia itu seorang wanita yang masih sangat muda yang masih
suka tertidur di sisi adonan makanan yang dibuat untuk keluarganya hingga
datang hewan memakan adonan itu.”
Berdasarkan
penuturan Barirah inilah Rasulullah SAW cenderung mempercayai Ummul Mu’minin
Aisyah daripada desasdesus dari kaum munafikin dan sebagian kaum muslimin.
Pernah juga suatu
kali tatkala Ummul Aisyah merasakan kecemburuan terhadap Rasulullah SAW, ia
mengandalkan Barirah untuk mengetahui kebenaran firasat keperempuanannya itu.
Ummul Mu’minin Aisyah menceritakan dalam Musnad Imam Ahmad dan Al Muwatha’ Imam
Malik bahwa pada suatu malam Rasulullah dating ke biliknya, kemudian segera memakai
baju kemejanya dan keluar. Ia mengira bahwa Rasulullah akan ke salah satu
isterinya yang lain, ia cemburu dengan firasatnya itu. Diutusnya Barirah untuk
membuntuti Rasulullah SAW dan mengetahui kemana Rasulullah pergi. Barirah
membuntutinya hingga ke Baqi’ Gharqad, lalu diujung Baqi’ beliau mengangkat
kedua tangannya dan berbalik pulang. Lalu Barirah pun kembali dan melaporkan
apa yang dilihatnya.
Pagi harinya, Ummul
Mu’minin Aisyah bertanya pada Rasulullah, “Rasulullah, semalam engkau keluar
pergi kemana?”
“Saya diutus untuk
pergi ke penghuni kuburan Baqi` untuk mendoakan mereka,” kata Rasulullah. Dalam
Sunan An Nasa’i, Rasulullah menjawab, “Aku diutus kepada penduduk Baqi’ agar
aku shalat untuk mereka.” Maka jelaslah kini firasat kecemburuan Ummul Mu’minin
Aisyah tidak terbukti.
Barirah juga
memiliki bashirah yang tajam. Suatu kali, Abdul Malik bin Marwan datang
kepadanya. Ia melihat dalam diri Abdul Malik bin Marwan ada tanda-tanda
kepemimpinan. Maka ia pun memberikan nasihat kepadanya perihal kepemimpinan.
“Wahai Abdul Malik, aku melihatmu memiliki perangaiperangai yang mulia, dan
engkau layak untuk memegang tampuk pemerintahan. Maka bila nanti engkau
diserahi kepemimpinan, berhati-hatilah dengan masalah darah kaum muslimin,
karena aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya seseorang
ditolak dari pintu surga setelah melihat keindahan surga disebabkan darah
seorang muslim sepenuh mihjamah yang dia tumpahkan tanpa hak.’” Mihjamah adalah
alat untuk berbekam.
Maka benarlah
nasihat Barirah untuk Abdul Malik bin Marwan. Di kemudian hari ia menjadi salah
seorang khilafah Bani Umayah dan memang nasihat Barirah itu cocok untuk
dirinya.
Barirah hidup
hingga masa Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Sedangkan sejarah mengenai mantan
suaminya tidak tercatat. Semoga Allah meridhai keduanya.