KH.MA'RUF AMIN MUNGKIN PERLU ISTIRAHAT



Oleh : Asyari Usman

Sewaktu saya masih aktif di BBC, saya cukup sering melakukan wawancara dengan KH. Ma’ruf Amin. Saya tak ingat berapa belas kali mewawancarai beliau per telefon. Waktu itu, Pak Kiyai sebagai pilihan narasumber saya, sangat prima. Jawaban-jawaban Pak Kiyai tentang berbagai isu kesyariatan dan masalah sosial, begitu menggigit.

Kiyai Ma’ruf selalu lancar berbicara. Argumentatif. Artikulat. Akurat. Pokoknya untuk masalah-masalah keumatan, seperti isu kehalalan produk, soal label halal, soal terorisme, isu moralitas, perkembangan perbankan syariah, dlsb, tanya saja ke beliau. Anda tidak akan perlu banyak melakukan pengeditan. Waktu itu, medium siaran saya adalah audio. Rekaman wawancara dengan Pak Kiyai, boleh dikatakan bisa langsung diputar tanpa editan.

Begiutlah KH. Ma’ruf Amin yang saya kenal sebagai narasumber. 

Seperti ulama-ulama garis lurus lainnya, Kiyai Ma’ruf tidak mau mengkompromikan kebenaran. Di bawah pimpinan beliaulah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa penistaan agama yang dilakukan oleh mantan gubernur DKI, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Gara-gara fatwa ini, Ahok sangat murka kepada Kiyai Ma’ruf. Waktu itu, Ahok mengancam akan mempermalukan Pak Kiyai. Tetapi, kalkulasi politik membuat semua pihak memilih untuk menghormati Ma’ruf Amin.

Tidak berlebihan kalau Anda mau mengatakan Pak Kiyai sebagai tokoh legendaris. Dan, tidak perlu kita uraikan apa dasarnya.

Yang perlu kita katakan hari ini adalah bahwa Kiyai Ma’ruf telah menunjukkan tanda-tanda kelelahan dalam mengemban begitu banyak tugas berat dalam menjaga kepentingan umat Islam. Kepentingan yang multi-dimesnional. Kepentingan yang berhadapan dengan banyak ancaman. Kepentingan yang sangat rentan terhadap berbagai konspirasi.

Beliau telah mendedikasikan tenaga, ilmu, dan kehidupan pribadinya untuk menjaga MUI, untuk menjaga umat. Wajar Pak Kiyai tampak kelelahan. Begitu banyak orang atau lembaga yang memerlukan beliau. Siapa yang tidak lelah, siapa yang tidak penat…

Wajar Pak Kiyai belakanganan ini bagaikan dilanda “kebingungan”. Pertarungan di belantara politik dan sosial Indonesia semakin ruwet. Begitu banyak predator politik yang berkeliaran. Tetapi juga begitu banyak keindahan yang menawarkan kenyamanan.

Sangatlah tepat pilihan Pak Kiyai untuk membantu penguasa dalam menjalankan keinginan mereka. Karena itu, demi pengabdian yang penuh dan fokus untuk membantu penguasa, umat negeri ini ikhlas kalau Pak Kiyai harus meninggalkan MUI. Biarlah lembaga umat ini dikelola oleh para ulama lain yang masih bisa dikuras staminanya.

Lagi pula, sangatlah elegan kalau Pak Kiyai fokus di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang baru diubah dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Dengan duduk di sini saja, tanpa posisi sebagai ketua umum MUI, Pak Kiyai Ma’ruf lebih bebas untuk menunjukkan simpatinya kepada penguasa. Menjadi lebih bebas untuk mengatakan apa saja.

Dengan hanya duduk di BPIP, Pak Kiyai sangat OK mengatakan agar Prabowo Subianto berhenti membuat kegaduhan meskipun beliau tidak tahu persis kegaduhan apa yang telah dilakukan oleh orang yang beliau nasihati. Alangkah bagusnya kalau Pak Kiyai mengatakan ini dalam kapasitasnya sebagai anggota BPIP saja, tidak sebagai ketua umum MUI.

Selain itu, MUI sendiri semakin keras dituntut untuk menyesuaikan diri dengan aspirasi umat Islam. Suasana politik nasional telah banyak berubah dan sangat dinamis. Ini bukan mau mengatakan Kiyai Ma’ruf tidak mampu lagi memimpin MUI. Yang dimaksudkan adalah bahwa situasi sosial-politik Indonesia yang sangat dinamis itu, memerlukan respon MUI yang otoritatif dan progresif. Kadangkala perlu agresif.

Kiyai Ma’ruf telah melakukan itu di masa lalu. Beliau telah memperlihatkan ketajaman berpikir dan kecepatan bereaksi. Pak Kiyai sudah kenyang dengan asam-garam keberadaan MUI. Bak kata orang seberang, beliau itu sudah “been there, done that”. Sudah ke mana-mana, sudah kerjakan semuanya.

Jadi, BPIP memang pas untuk beliau. Estafet perkomandoan di MUI sudah saatnya dipegang oleh orang yang relevan dengan dinamika yang akan terus menguras tenaga dan pikiran. Rasanya, tidaklah pantas Kiyai Ma’ruf melayani sowan “puisi konde”, sebagai contoh.

Terakhir, MUI masih bisa disebut sebagai benteng kepentingan umat Islam. Kalau dilihat dari kecenderungan yang ada, tampaknya penistaan agama akan semakin intensif. Akan makin gencar. Karena itu, MUI perlu bergerak lebih lincah dan proaktif.

Pak Kiyai sudah kelihatan terlalu letih. KH Maruf Amin perlu istirahat dari hiruk-pikuk fungsi MUI. Demi kebaikan bersama, sudah saatnya MUI dipimpin oleh generasi di belakang Pak Kiyai. Agar situasi yang agresif bisa dijawab dengan reaksi yang komprehensif.

(Penulis adalah wartawan senior)

Ikuti kami di channel Whatsapp : https://whatsapp.com/channel/0029VaMoaxz2ZjCvmxyaXn3a | 

Ikuti kami di channel Telegram : https://t.me/kontenislam


Download Konten Islam Di PlayStore https://play.google.com/store/apps/details?id=com.cleova.android.kontenislam

Ikuti Kami Di Goole News : Google News Konten Islam

close