Raja Gila dan Kita Yang Gila Raja
Daftar Isi

Oleh: Fajar Shadiq
KONTENISLAM.COM - 2020 jadi tahun penuh kejutan. Mulai dari bencana alam, kasus Jiwasraya dan Asabri, virus corona hingga munculnya raja-raja palsu. Fenomena raja-raja palsu ini seakan tak mau berakhir. Setelah ada Keraton Sejagat, Sunda Empire, King of The King, kini yang terbaru muncul lagi Raja Labok (kerajaan Mulawarman) di Kutai Kertanegara.
Raja-raja gila terus bermunculan dan menimbulkan banyak pertanyaan. Kenapa fenomena ini baru ramai dibicarakan sekarang? Apakah ini fenomena yang baru ada atau sejak lama bertengger di tatanan sosial kita? Yang tak kalah menarik, siapa saja yang tertarik untuk mengikuti ‘ajaran’ dan keyakinan raja-raja gila ini?
Fenomena raja palsu memang mengakar di masyarakat Indonesia yang pernah lama menganut sistem feodal. Bahkan, para pemimpin tingkat nasional dan tingkat daerah kerap menggunakan atribut feodalisme. Mereka tak jarang mengklaim sebagai titisan penguasa di masa silam. Hal itu dilakukan demi menarik kepercayaan masyarakat, sekaligus mengamini budaya feodal warisan masa silam yang sadar tak sadar masih berlangsung di tatanan modern hari ini.
Feodalisme mewariskan asas setia dan tunduk dalam diri rakyat kepada penguasa. Hal ini membuat daya saing antar rakyat menjadi terbatasi rasa segan dan takut kepada penguasa atau atasan. Rakyat menjadi pasrah dan tidak suka bekerja keras, karena mereka menganggap dengan menurut pada atasan, mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Budaya senioritas, memberikan upeti agar segala urusan beres dan birokrasi yang berbelit adalah tetesan budaya masa silam yang lestari hingga kini.
Pada akhirnya semua orang berlomba-lomba untuk cepat menjadi atasan. Menjadi orang yang punya kuasa. Ini juga yang menyebabkan banyak orang Indonesia gemar menggunakan atribut-atribut kehormatan. Mulai dari atribut militer, kepolisian bahkan atribut kerajaan. Atribut itu kerap digunakan untuk membuat orang semakin percaya diri, menggertak orang lain atau yang paling lazim sebagai modus penipuan.
Sayangnya, atas alasan feodalisme yang melekat kuat itu tadi masih banyak orang yang tertipu. Tak main-main, jika dilacak dari guratan sejarah, Presiden Soekarno sekalipun rupanya mempan juga kena tipuan raja palsu. Menurut sejarawan UI, Anhar Gonggong, pada tahun 1961, saat Bung Karno sedang memobilisasi rakyat untuk pembebasan Irian Barat, datang sepasang raja dan ratu bernama Idrus dan Markonah.
Raja Idrus dan Ratu Markonah mengaku sebagai pemimpin tertinggi suku anak dalam dari rimba belantara Jambi. Sepasang penipu itu mengaku bermaksud berkeliling Indonesia untuk melihat-lihat daerah di luar wilayah kekuasaan mereka. Para pejabat di daerah -daerah yang mereka sambangi menyambut dengan meriah.
Bung Karno pun tak mau ketinggalan. Ia segera memerintahkan penyambutan besar-besaran bagi tamu agung yang datang dari jauh. Hotel berbintang, restoran mewah, dan wisata ke pulau Dewata pun telah disiapkan, demi mengajuk hati sang ratu dan raja yang terhormat. Harapannya agar seluruh suku Anak Dalam turut mendukung sepenuhnya perjuangan Trikora. Namun tak lama aksi raja palsu itu terbongkar, belakangan Idrus dikenali oleh rekan seprofesinya sebagai tukang becak. Sementara Markonah rupanya pelacur kelas teri dari Kota Tegal.
Kalau sekelas Bung Karno bisa kena tipu tukang becak dan pelacur kelas teri orang masih bisa menyangkal. Bisa saja Bung Karno terkecoh karena laporan yang salah dari para pembantunya. Tapi otak encer juga bukan jaminan tak mempan dari para penipu dengan aksesoris feodal. Pada tahun 2016 silam, publik Indonesia digegerkan berita penangkapan Dimas Kanjeng.
Pria bernama Taat Pribadi ini membuka padepokan di Kabupaten Probolinggo dan mengklaim punya banyak kesaktian. DI antaranya ialah menciptakan uang. Ia bahkan mengklaim dirinya sebagai raja dengan gelar Sri Raja Prabu Rajasa Nagara. Gelar raja itu menarik banyak pengikut. Salah satunya ialah intelektual ICMI, Marwah Daud Ibrahim, Ph.d. Hingga sang rajanya ditangkap, Marwah Daud masih percaya kesaktian Dimas Kanjeng dan rela meninggalkan jabatannya sebagai Ketua Komisi Perempuan, Remaja dan Anak di Majelis Ulama Indonesia.
Jika jabatan sekelas presiden dan otak encer sekelas doktor bisa tertipu gocekan raja-raja gila, apakah orang-orang yang belajar menekuni ilmu agama bisa lebih mempan kena tipuan gaya feodal ini? Rupanya tidak. Para raja-raja gila ini tak hanya bermodalkan aksesoris dan atribut saja. Mereka juga memiliki modal dasar yang sama. Pemahaman atas sifat tamak manusia.
Dimas Kanjeng mengaku bisa ciptakan uang dari tangan kosong. Totok Santoso dari Keraton Agung Sejagad mengaku seluruh negara adalah miliknya, Sementara Dony Pedro dari King of The King berjanji akan berikan uang senilai Rp 3 Miliar kepada seluruh warga negara Indonesia. Jika akal tak bisa memercayai atribut dan narasi palsu, masih ada harapan dan angan-angan yang laku dijual. Itu sebabnya cerita raja-raja gila ini pun masih laris. Pun di kalangan umat Islam.
Seorang kawan pengajar di satu pondok pesantren pernah bercerita, suatu kali datang seseorang mengaku anak raja. Konon kisahnya bermula saat sang anak raja itu memiliki kakak yang berbisnis dengan orang Makasar. Muncul masalah dalam bisnis tersebut dan saling ancam. Orang Makasar itu bilang, “Jangan macam-macam denganku, aku orang Bugis, margaku anu.”
Kakak dari sang pendaku anak raja itu membalas, “jangan dikira takut, akupun ada darah Bugis, margaku ini.” Konon, orang Makasar yang berbisnis dengan kakaknya itu kaget. Karena marga yang disebut kakaknya itu marga sultan mereka yang hilang di zaman Belanda. Lalu dari bertikai masalah bisnis mereka jadi saling mencocokkan nasab.
Konon lagi katanya, ternyata kakek atau buyut sang pendaku anak raja itu adalah sultan atau raja yang kabur dari negerinya karena diburu Belanda. Lalu hijrah ke suatu pulau di daerah Madura. Usut-punya usut ternyata kerajaan itu masih berlanjut, posisi raja dijabat kerabat yang tersisa. Untuk fit and proper test, raja yang hilang itu diceritakan menyimpan beberapa benda pusaka.
Ternyata, menurut kisah kawan, beberapa pusaka itu masih dipegang oleh si fulan sang pendaku anak raja. Padahal, dahulu si raja hilang itu pernah berwasiat sebelum pergi, kelak kalau ada keturunannya membawa sekian pusaka, maka kerajaan itu menjadi haknya. Maka jadilah ketemu ternyata si fulan itulah yang menjadi putera mahkota.
Kisah yang diceritakan oleh kawan tadi tak berhenti di situ. Si fulan pendaku anak raja itu konon anggota federasi keraton nusantara dan pernah dilantik dalam forum yang dihadiri oleh Mendagri. Si raja memiliki aset tanah yang luas dan sebagian konon dikuasai Kalla Grup yang nilainya mencapai trilyunan. Jadi, seandainya ada yang ragu pada nasab dan otentisitas kisah, siapa yang tak tertarik dijanjikan angan-angan tentang kekayaan melimpah? Pada akhirnya, sejumlah ustadz di pondok pesantren banyak juga yang tergiur jadi pengikutnya.
Kisah ini juga hampir mirip dengan cerita dari kawan lain yang pernah ditawari bisnis oleh seorang putera tokoh jihadis berskala nasional. Bisnisnya unik. Investasi penarikan benda pusaka yang konon bernilai trilyunan rupiah. Demi mendapat pusaka pedang antik itu sang kawan diajak ikutan investasi senilai ratusan juta dengan iming-iming cashback senilai milyaran. Usut punya usut, model bisnis itu ujungnya hanya penipuan tapi putera sang tokoh keburu ikutan. Ia hanya bisa gigit jari berkat ‘investasi bodong’nya yang keburu melayang.
Pada akhirnya, fenomena raja-raja gila ini bukan hal baru di tengah masyarakat. Tapi kemunculannya yang bertubi-tubi adalah fenomena gunung es. Yang jadi keganjilan adalah kenapa media baru tertarik mengangkat fenomena ini sekarang? Apa memang ini agenda setting media-media mainstream demi menutupi sejumlah isu krusial seperti Jiwasraya dan Harun Masiku? Atau memang sudah saatnya umat ini mendapatkan kesadaran. Bahwa yang berbahaya dari raja-raja gila ini bukanlah kerajaan fiktifnya. Tapi sifat tamak kita yang masih gila raja.[kiblat]
Raja-raja gila terus bermunculan dan menimbulkan banyak pertanyaan. Kenapa fenomena ini baru ramai dibicarakan sekarang? Apakah ini fenomena yang baru ada atau sejak lama bertengger di tatanan sosial kita? Yang tak kalah menarik, siapa saja yang tertarik untuk mengikuti ‘ajaran’ dan keyakinan raja-raja gila ini?
Fenomena raja palsu memang mengakar di masyarakat Indonesia yang pernah lama menganut sistem feodal. Bahkan, para pemimpin tingkat nasional dan tingkat daerah kerap menggunakan atribut feodalisme. Mereka tak jarang mengklaim sebagai titisan penguasa di masa silam. Hal itu dilakukan demi menarik kepercayaan masyarakat, sekaligus mengamini budaya feodal warisan masa silam yang sadar tak sadar masih berlangsung di tatanan modern hari ini.
Feodalisme mewariskan asas setia dan tunduk dalam diri rakyat kepada penguasa. Hal ini membuat daya saing antar rakyat menjadi terbatasi rasa segan dan takut kepada penguasa atau atasan. Rakyat menjadi pasrah dan tidak suka bekerja keras, karena mereka menganggap dengan menurut pada atasan, mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Budaya senioritas, memberikan upeti agar segala urusan beres dan birokrasi yang berbelit adalah tetesan budaya masa silam yang lestari hingga kini.
Pada akhirnya semua orang berlomba-lomba untuk cepat menjadi atasan. Menjadi orang yang punya kuasa. Ini juga yang menyebabkan banyak orang Indonesia gemar menggunakan atribut-atribut kehormatan. Mulai dari atribut militer, kepolisian bahkan atribut kerajaan. Atribut itu kerap digunakan untuk membuat orang semakin percaya diri, menggertak orang lain atau yang paling lazim sebagai modus penipuan.
Sayangnya, atas alasan feodalisme yang melekat kuat itu tadi masih banyak orang yang tertipu. Tak main-main, jika dilacak dari guratan sejarah, Presiden Soekarno sekalipun rupanya mempan juga kena tipuan raja palsu. Menurut sejarawan UI, Anhar Gonggong, pada tahun 1961, saat Bung Karno sedang memobilisasi rakyat untuk pembebasan Irian Barat, datang sepasang raja dan ratu bernama Idrus dan Markonah.
Raja Idrus dan Ratu Markonah mengaku sebagai pemimpin tertinggi suku anak dalam dari rimba belantara Jambi. Sepasang penipu itu mengaku bermaksud berkeliling Indonesia untuk melihat-lihat daerah di luar wilayah kekuasaan mereka. Para pejabat di daerah -daerah yang mereka sambangi menyambut dengan meriah.
Bung Karno pun tak mau ketinggalan. Ia segera memerintahkan penyambutan besar-besaran bagi tamu agung yang datang dari jauh. Hotel berbintang, restoran mewah, dan wisata ke pulau Dewata pun telah disiapkan, demi mengajuk hati sang ratu dan raja yang terhormat. Harapannya agar seluruh suku Anak Dalam turut mendukung sepenuhnya perjuangan Trikora. Namun tak lama aksi raja palsu itu terbongkar, belakangan Idrus dikenali oleh rekan seprofesinya sebagai tukang becak. Sementara Markonah rupanya pelacur kelas teri dari Kota Tegal.
Kalau sekelas Bung Karno bisa kena tipu tukang becak dan pelacur kelas teri orang masih bisa menyangkal. Bisa saja Bung Karno terkecoh karena laporan yang salah dari para pembantunya. Tapi otak encer juga bukan jaminan tak mempan dari para penipu dengan aksesoris feodal. Pada tahun 2016 silam, publik Indonesia digegerkan berita penangkapan Dimas Kanjeng.
Pria bernama Taat Pribadi ini membuka padepokan di Kabupaten Probolinggo dan mengklaim punya banyak kesaktian. DI antaranya ialah menciptakan uang. Ia bahkan mengklaim dirinya sebagai raja dengan gelar Sri Raja Prabu Rajasa Nagara. Gelar raja itu menarik banyak pengikut. Salah satunya ialah intelektual ICMI, Marwah Daud Ibrahim, Ph.d. Hingga sang rajanya ditangkap, Marwah Daud masih percaya kesaktian Dimas Kanjeng dan rela meninggalkan jabatannya sebagai Ketua Komisi Perempuan, Remaja dan Anak di Majelis Ulama Indonesia.
Jika jabatan sekelas presiden dan otak encer sekelas doktor bisa tertipu gocekan raja-raja gila, apakah orang-orang yang belajar menekuni ilmu agama bisa lebih mempan kena tipuan gaya feodal ini? Rupanya tidak. Para raja-raja gila ini tak hanya bermodalkan aksesoris dan atribut saja. Mereka juga memiliki modal dasar yang sama. Pemahaman atas sifat tamak manusia.
Dimas Kanjeng mengaku bisa ciptakan uang dari tangan kosong. Totok Santoso dari Keraton Agung Sejagad mengaku seluruh negara adalah miliknya, Sementara Dony Pedro dari King of The King berjanji akan berikan uang senilai Rp 3 Miliar kepada seluruh warga negara Indonesia. Jika akal tak bisa memercayai atribut dan narasi palsu, masih ada harapan dan angan-angan yang laku dijual. Itu sebabnya cerita raja-raja gila ini pun masih laris. Pun di kalangan umat Islam.
Seorang kawan pengajar di satu pondok pesantren pernah bercerita, suatu kali datang seseorang mengaku anak raja. Konon kisahnya bermula saat sang anak raja itu memiliki kakak yang berbisnis dengan orang Makasar. Muncul masalah dalam bisnis tersebut dan saling ancam. Orang Makasar itu bilang, “Jangan macam-macam denganku, aku orang Bugis, margaku anu.”
Kakak dari sang pendaku anak raja itu membalas, “jangan dikira takut, akupun ada darah Bugis, margaku ini.” Konon, orang Makasar yang berbisnis dengan kakaknya itu kaget. Karena marga yang disebut kakaknya itu marga sultan mereka yang hilang di zaman Belanda. Lalu dari bertikai masalah bisnis mereka jadi saling mencocokkan nasab.
Konon lagi katanya, ternyata kakek atau buyut sang pendaku anak raja itu adalah sultan atau raja yang kabur dari negerinya karena diburu Belanda. Lalu hijrah ke suatu pulau di daerah Madura. Usut-punya usut ternyata kerajaan itu masih berlanjut, posisi raja dijabat kerabat yang tersisa. Untuk fit and proper test, raja yang hilang itu diceritakan menyimpan beberapa benda pusaka.
Ternyata, menurut kisah kawan, beberapa pusaka itu masih dipegang oleh si fulan sang pendaku anak raja. Padahal, dahulu si raja hilang itu pernah berwasiat sebelum pergi, kelak kalau ada keturunannya membawa sekian pusaka, maka kerajaan itu menjadi haknya. Maka jadilah ketemu ternyata si fulan itulah yang menjadi putera mahkota.
Kisah yang diceritakan oleh kawan tadi tak berhenti di situ. Si fulan pendaku anak raja itu konon anggota federasi keraton nusantara dan pernah dilantik dalam forum yang dihadiri oleh Mendagri. Si raja memiliki aset tanah yang luas dan sebagian konon dikuasai Kalla Grup yang nilainya mencapai trilyunan. Jadi, seandainya ada yang ragu pada nasab dan otentisitas kisah, siapa yang tak tertarik dijanjikan angan-angan tentang kekayaan melimpah? Pada akhirnya, sejumlah ustadz di pondok pesantren banyak juga yang tergiur jadi pengikutnya.
Kisah ini juga hampir mirip dengan cerita dari kawan lain yang pernah ditawari bisnis oleh seorang putera tokoh jihadis berskala nasional. Bisnisnya unik. Investasi penarikan benda pusaka yang konon bernilai trilyunan rupiah. Demi mendapat pusaka pedang antik itu sang kawan diajak ikutan investasi senilai ratusan juta dengan iming-iming cashback senilai milyaran. Usut punya usut, model bisnis itu ujungnya hanya penipuan tapi putera sang tokoh keburu ikutan. Ia hanya bisa gigit jari berkat ‘investasi bodong’nya yang keburu melayang.
Pada akhirnya, fenomena raja-raja gila ini bukan hal baru di tengah masyarakat. Tapi kemunculannya yang bertubi-tubi adalah fenomena gunung es. Yang jadi keganjilan adalah kenapa media baru tertarik mengangkat fenomena ini sekarang? Apa memang ini agenda setting media-media mainstream demi menutupi sejumlah isu krusial seperti Jiwasraya dan Harun Masiku? Atau memang sudah saatnya umat ini mendapatkan kesadaran. Bahwa yang berbahaya dari raja-raja gila ini bukanlah kerajaan fiktifnya. Tapi sifat tamak kita yang masih gila raja.[kiblat]