Mitos Kesejahteraan Para Petani

Mitos Kesejahteraan Para Petani

Oleh:Muhamad Hasan

PADA 17 Desember 2019 lalu, Menteri Pertanian telah menandatangani Keputusan Menteri Pertanian Nomor. 833/KPTS/SR. 020/M/12/2019 tentang Penetapan Luas Tutupan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2019.

Dari keputusan tersebut, diketahui bahwa luas tutupan kelapa wawit Indonesia tahun 2019 mencapai 16.381.959 hektar. Itu artinya luas tutupan sawit di Indonesia tiga kali lebih luas daripada luas pulau bali.

Dari jumlah tersebut terdapat sawit rakyat yang memiliki luas mencapai 5.958.502 hektar, luas lahan tersebut dikelola oleh 2,74 Kepala Keluarga, (Databoks, 2020).

Bagi Indonesia, sawit menghasilkan nilai ekspor mencapai 37,39 juta ton, pada tahun 2019 (GAPKI, 2020).

Meski demikian, masih terdapat permasalahan lain yang berkaitan dengan sektor perkebunan sawit di Indonesia, baik terkait luas lahan, perizinan, benih unggul, maupun harga Tandan Buah Segar (TBS).

Permasalahan tersebut diperparah dengan jumlah produktivitas petani sawit rakyat yang jumlahnya jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan sawit Perusahaan Besar Negara maupun perusahaan besar swasta.

Berdasarkan data yang dipublikasi oleh Dirjen Perkebunan, Kementerian Pertanian (2020) disebutkan bahwa produktivitas CPO Petani Rakyat hanya berjumlah 3,44 ton/Ha, Perkebunan Besar Sawasta berjumlah 4,04 ton/Ha, dan Perkebunan Besar Negara berjumlah 3,44 ton/Ha.

Dari perbandingan hasil perkebunan sawit dari tiga unsur tersebut terlihat jelas bahwa produktivitas sawit rakyat lebih rendah. Hal tersebut tentu berdampak terhadap hasil sawit rakyat. Terlebih rakyat petani kelapa sawit tidak memiliki posisi tawar yang kuat dalam menentukan harga Tandan Buah Segar (TBS).

Saat ini TBS dari petani dihargai sekitar Rp. 1.800/kg –untuk sawit usia 9-20 tahun— (Infosawit, 2020). Sedangkan harga TBS untuk sawit dengan usia di atas 20 tahun tentunya lebih rendah daripada harga tersebut.

Kisaran harga TBS tersebut tentu untuk sawit dari petani yang telah bersertifikat RSPO dan bermitra dengan perusahaan, sedangkan untuk petani kecil yang tidak bersertifikat RSPO, tentu harga TBS yang patok oleh perusahaan tidak sebesar itu. Sebabnya, mereka harus mencari dan bekerjasama dengan perantara (tengkulak) untuk dapat menjual hasil panennya ke perusahaan.

Dalam hal ini manajemen perkebunan perlu dilakukan oleh patani yaitu dengan mengurus legalitas lahan serta melakukan peremajaan kebun sawit. Namun hal tersebut bukanlah suatu hal yang mudah, karena untuk melakukan peremajaan (replanting) seorang petani harus merogoh kocek hingga Rp 35 juta per hektar (Gimni, 2018).

Pada tahun 2018 lalu Presiden Joko Widodo telah meluncurkan program peremajaan sawit dengan target 185.000 hektar. Bisa dibayangkan berapa jumlah anggaran yang harus disediakan oleh pemerintah untuk melakukan peremajaan (replanting) untuk perkebunan rakyat seluas itu. Nampaknya program replanting tidak semulus apa yang telah digagas.

Hal ini dapat dilihat dari alokasi dana sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan besaran alokasi sebagai berikut: Rp 29,2 triliun untuk insentif biodiesel, Rp 2,3 triliun untuk peremajaan sawit rakyat, Rp 246,5 miliar untuk riset, Rp 121,3 milir untuk pengembangan sumber daya manusia dan beasiswa, dan Rp 171,3 miliar untuk dana promosi (Katadata, 2020).

Dilihat dari jumlah alokasi dana tersebut terlihat jelas bahwa alokasi dana sawit terbesar adalah untuk insentif biodiesel yang mencapai 61,83 persen. Sedangkan alokasi untuk peremajaan sawit hanya 6,9 persen, dari total keseluruhan dana yang dialokasikan.

Apabila dilihat dari hasil replanting yang ditargetkan oleh Presiden Joko Widodo untuk tahun yang sama (2018) dimana program replanting hanya mencapai 58 ribu hektar. Jumlah tersebut bahkan belum mencapai 50 persen dari target.

Tanpa Kejelasan

Belum selesai dengan persoalan harga TBS dan replanting, petani sawit juga mendapatkan ancaman serius sebagai dampak dari adanya pandemik virus corona baru (Covid-19).

Kebijakan pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), serta kebijakan lockdown di negara tujuan ekspor tentu berdampak terhadap besarnya permintaan sawit Indonesia. Hal tersebut berimbas terhadap komoditas sawit baik dari sektor hilir maupun hulu bahkan hingga pada tataran rakyat petani sawit.

“Sudah jatuh tertimpa tangga”, nampaknya itulah perumpamaan yang tepat untuk rakyat petani sawit, terlebih bagi yang lahannya berada di dalam kawasan hutan dan luasnya kurang dari 5 hektar.

Bagaimana tidak, dengan lahan sawit yang kecil, maka secara otomatis mereka tidak dapat menjual TBS secara langsung kepada pabrik, mereka harus menjualnya melalui perantara (tengkulak).

Imbasnya, sudah barang tentu harga yang dipatok pasti lebih rendah jika dibandingkan dengan harga TBS yang dijual langsung ke pabrik.

Selain itu kebun sawit rakyat dalam kawasan hutan, hingga saat ini juga belum memiliki kejelasan apakah pemerintah akan memberikan amnesti lahan atau akan mengambil kebijakan lain untuk menyelamatkan mereka.

Yang jelas, apabila lahan sawit berada di dalam kawasan hutan serta tidak memiliki legalitas perizinan, maka akan berdampak pula terhadap harga, produk, serta tingkat kerawanan terjadinya konflik tenurial. Serta, mereka –petani rakyat— kesulitan untuk mendapatkan akses bantuan dari pemerintah.

Jalan Tengah

Berbicara persoalan sawit Indonesia, tentu tidak dapat terlepas dari data sawit, baik luas lahan, sebaran lahan, data kepemilikan lahan, jumlah produksi, nilai ekspor, peremajaan (replanting), subsidi sawit, deforestasi, hingga jalan tengah penyelesaian sawit rakyat di dalam kawasan hutan. Beberapa permasalahan tersebut perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah.

Sebut saja persoalan luas lahan, meskipun pemerintah telah menetapkan luas tutupan sawit di Indonesia, namun hingga saat ini belum diketahui secara pasti berapa luas lahan sawit yang sesungguhnya. Bahkan setiap lembaga baik pemerintah maupun swasta memiliki data luas lahan yang berbeda-beda.

Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan publikasi yang dilansir tahun 2019 disebutkan luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia seluas 14,32 juta hektar dengan rincian; Perkebunan Besar 8,51 juta hektar, Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat 5,81 juta hektar.

Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, disebutkan luas perkebunan sawit Indonesia tahun 2020 mencapai 14.998.010 hektar dengan Provinsi Riau menduduki provinsi dengan lahan sawit terluas yaitu mencapai 2.850.003 hektar.

Perbedaan data tidak hanya terjadi pada luas lahan sawit Indonesia, tetapi juga pada luas lahan sawit yang berada di dalam kawasan hutan.

Pada tahun 2018 terdapat sekitar 16.8 juta hektar lahan (Auriga, 2018), sedangkan publikasi yang dilakukan oleh UGM (2018) menjelaskan bahwa setidaknya terdapat 2,8 juta hektar sawit dalam kawasan hutan.

Data sawit yang berbeda-beda menjadi salah satu permasalahan yang harus dicari jalan keluar, karena bagaimana pemerintah dapat mengabil kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan persoalan sawit rakyat apabila belum ada peta yang jelas dan menjadi rujukan untuk melakukan pemetaan persoalan sawit.

Selain itu, pemerintah perlu mengambil opsi lain untuk menyelesaikan persoalan sawit rakyat dalam kawasan hutan yang mampu mengakomodir kepentingan rakyat petani sawit sebagai salah satu kelompok rentan terdampak dari sengkarut regulasi sawit di Indonesia.

Terdapat beberapa opsi yang dapat diambil oleh pemerintah untuk menyelesaikan persoalan sawit rakyat yang berada di dalam kawasan hutan.

Baik dengan menerapkan pertanian agroforestry, memberikan amnesti lahan kepada rakyat petani, serta memberikan bantuan untuk program-program lain yang mampu meningkatkan kesejahteraan petani sawit rakyat

(Penulis adalah Peneliti HICON Law & Policy Strategies)

Ikuti kami di channel Whatsapp : https://whatsapp.com/channel/0029VaMoaxz2ZjCvmxyaXn3a | 

Ikuti kami di channel Telegram : https://t.me/kontenislam


Download Konten Islam Di PlayStore https://play.google.com/store/apps/details?id=com.cleova.android.kontenislam

Ikuti Kami Di Goole News : Google News Konten Islam

close