Alasan HRS akan Tetap Menolak Sidang Online

Layar menampilkan suasana sidang perdana kasus pelanggaran protokol kesehatan dengan terdakwa Rizieq Shihab di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Jakarta, Selasa (16/3/2021). Sidang tersebut beragendakan pembacaan dakwaan dari jaksa penuntut umum (JPU). 

KONTENISLAM.COM - oleh Rizky Suryarandika, Febrianto Adi Saputro, Dian Fath Risalah

Kuasa Hukum Habib Rizieq Shihab (HRS), Aziz Yanuar, menyatakan, kliennya tetap berpegang teguh pada pendirian untuk terus menolak sidang secara daring (online). Ia menyampaikan, HRS tak akan mau mengikuti sidang online.

Majelis Hakim menunda persidangan HRS dalam perkara kasus kerumunan untuk mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Keputusan itu diambil karena HRS diam saat ditanyakan apakah akan mengajukan eksepsi atau tidak oleh majelis hakim pada persidangan yang diselenggarakan virtual, Jumat (19/3).

Aziz menyatakan, pihak kuasa hukum dan HRS tak punya persiapan apa-apa untuk agenda sidang lanjutan pada 23 Maret jika tetap diadakan secara daring. HRS, Aziz menambahkan, tetap tak akan menerima pelaksanaan sidang daring.

"HRS dkk tetap akan tolak sidang online dan tidak mengakui sidang online," kata Aziz pada Republika.co.id, Senin (22/3).

Eksepsi yang tak disampaikan HRS dalam sidang daring justru tersebar di media sosial sejak beberapa hari lalu. "Mengetuk Pintu Langit, Menolak Kezaliman, Menegakkan Keadilan" menjadi judul eksepsi HRS. Eksepsi setebal 66 halaman itu banyak mengutip ayat Alquran dan hadis

Aziz mengatakan, tersebarnya eksepsi merupakan upaya perlawanan HRS atas proses hukum yang dijalaninya. HRS menyatakan tak puas karena pengadilan sebagai bagian dari proses mencari keadilan justru jauh dari keadilan.

"Memang itu bentuk tanggapan kami atas dakwaan ngawur, pandir, dan zalim," ujar Aziz.

Diketahui, HRS terjerat tiga kasus sekaligus. Dalam kasus kerumunan massa di Petamburan, Jakarta Pusat, HRS ditetapkan sebagai tersangka pada 14 November 2020 lalu. HRS diduga melanggar Pasal 160 KUHP. Kemudian, pada Desember 2020, HRS juga ditetap sebagai tersangka kerumunan massa di Megamendung, Kabupaten Bogor.

Dari kedua kasus tersebut, HRS dijerat dengan Pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Pasal 216 KUHP.  

Selanjutnya kasus terakhir, kasus di RS Ummi Bogor berawal saat HRS dirawat di RS Ummi dan melakukan tes usap pada 27 November 2020. Namun, HRS melakukan tes usap bukan dengan pihak rumah sakit, melainkan lembaga Mer-C.

 Anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Alhabsyi mengomentari soal persidangan HRS yang tetap digelar secara daring. Dia meminta Komisi Yudisial (KY) memberikan atensi pada kasus ini mengingat kasus tersebut telah menjadi perhatian publik.

"Tentunya, KY seharusnya memastikan persidangan berjalan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku," kata Aboe dalam keterangan tertulisnya, Senin (22/3).

Imbauan serupa juga disampaikan Aboe untuk Komnas HAM. Menurutnya, pemaksaan seseorang terdakwa bersidang secara online berpotensi pada pelanggaran HAM.

"Kami mengingatkan kepada semua pihak agar konsisten dengan ketentuan UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum. Karenanya, perlu komitmen dari semua pihak untuk tegak lurus mengikuti prosedur yang ada," ucapnya.

Ia memandang negara seharusnya memperlakukan Rizieq sebagai warga negara sebagaimana umumnya dalam pengadilan. Prinsip persamaan perlakuan di depan hukum (equality before the law) juga perlu ditegakkan.

"Pemaksaan pemeriksaan seorang tersangka untuk tidak hadir dalam persidangan berpotensi mengurangi hak hak hukum yang seharusnya dimiliki. Apalagi pada kasus lain, seperti kasus Djoko Tjandra sampai dengan Pinangki, semua tersangka bisa leluasa menghadiri persidangan," ungkapnya.

"Tentu ini menjadi preseden tidak baik, ketika seolah-olah terlihat ada diskriminasi. Di mana seorang tersangka ngotot mau bersidang, namun jaksa tidak menghendaki," ujarnya.

 Ketua Komisi Yudisial (KY) Mukti Fajar Nur Dewata menyatakan, majelis hakim memiliki kewenangan untuk menentukan sidang dilaksanakan secara virtual. Hal itu telah diatur dalam PERMA Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Pidana Secara Elektronik yang ditandatangani Ketua Mahkamah Agung (MA).

"Harus dipahami bahwa hakim adalah pemimpin dalam persidangan. Hakim mempunyai kewenangan penuh dengan mengambil sikap memanggil HRS untuk dihadirkan pada sidang virtual, walaupun hal tersebut juga dibatasi oleh hukum acara atau hukum formil," ujar Mukti dalam siaran persnya, Jumat (19/3).

Sidang virtual adalah sebagai solusi penyelesaian perkara di masa pandemi Covid-19.

"Mungkin hakim mempunyai dasar pertimbangan karena situasi dan kondisi pandemi. Jadi, untuk mencegah kerumunan sehingga mungkin saja itu menjadi alasan. Tetapi yang terpenting bahwa hakim telah menyatakan sidang terbuka untuk umum," ungkap Mukti.

Makna terbuka ini berarti bahwa terbuka di ruang persidangan, atau terbuka secara virtual. Artinya, publik bisa mengakses proses persidangan tersebut.

Terkait penolakan terdakwa HRS untuk hadir dalam sidang virtual karena khawatir terdapat kendala teknis, hal itu juga bagian dari teknis yudisial. Secara hukum formil, maka memungkinkan untuk ditindaklanjuti dengan panggilan kedua, ketiga, atau panggilan paksa, atau in absentia.

"Mengenai prosedur ini bukan menjadi wilayah kewenangan KY. Tetapi sikap menolak hadir dalam persidangan, baik langsung maupun secara virtual, akan menjadi catatan dan terus didalami oleh KY. Yang selanjutnya akan dianalisis lebih lanjut apakah merupakan kategori dari perilaku merendahkan martabat dan kehormatan hakim," tegasnya.

Adapun, pakar hukum Asep Warlan Yusuf menyarankan agar majelis hakim memenuhi tuntutan HRS yang memilih sidang secara tatap muka. HRS selama ini bungkam hingga meninggalkan ruangan saat berlangsung sidang virtual.

Asep mengingatkan, bahwa pengadilan merupakan lembaga pencari keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara. Dalam sisi ini, pengadilan juga wajib menjunjung keadilan bagi terdakwa.

"Pengadilan itu mesti memperjuangkan hak-hak pencari keadilan termasuk terdakwa dan korban. Pengadilan harus independen, imparsial, menggali nilai yang tumbuh di masyarakat," kata Prof Asep pada Republika, Senin (22/3).

Selama proses persidangan kasusnya, HRS menolak mengikutinya karena diadakan secara daring. HRS bersikukuh ingin menjalani sidang tatap muka.

Mengenai hal ini, Asep merasa sudah semestinya pengadilan memenuhi keinginan terdakwa yang ingin mencari keadilan. Dengan begitu maka pengadilan dapat memenuhi prinsip keadilan bagi terdakwa.

"Ketika ada perlakuan dari majelis hakim yang dianggap tidak adil oleh terdakwa, maka hakim harus bertindak bagaimana penuhi hak tadi supaya pengadilan berjalan secara fair tanpa rekayasa, independen dan tanpa intervensi dari siapapun," ujar Asep.

Asep mengingatkan aspek keadilan yang ingin dipenuhi majelis hakim mestinya turut digali dari masyarakat. Selama ini, sebagian masyarakat terutama pendukung dan keluarga HRS justru merasa proses hukum tak adil.

"Inilah (pemenuhan permintaan HRS) yang dicari para pemburu keadilan, bisa dari keluarga, pendukung HRS. Karena yang cari keadilan bukan cuma terdakwa tapi masyarakat juga," ucap Asep. [republika]

Ikuti kami di channel Whatsapp : https://whatsapp.com/channel/0029VaMoaxz2ZjCvmxyaXn3a | 

Ikuti kami di channel Telegram : https://t.me/kontenislam


Download Konten Islam Di PlayStore https://play.google.com/store/apps/details?id=com.cleova.android.kontenislam

Ikuti Kami Di Goole News : Google News Konten Islam

close