Mantan Teroris Tobat, Sofyan Tsauri Kenang saat Ditangkap Densus 88: Saya Tidak Tahan Siksaan Ini - KONTENISLAM.COM Berita Terupdate

Mantan Teroris Tobat, Sofyan Tsauri Kenang saat Ditangkap Densus 88: Saya Tidak Tahan Siksaan Ini

KONTENISLAM.COM - Mantan Teroris yang sudah tobat, Sofyan Tsauri, kembali mengenang masa lalunya saat dirinya ditangkap Densus 88, di Pangkalan 9 Jalan Raya Narogong, Cileungsi Bogor, 6 Maret 2010 silam.

Pada 6 Maret 2021, Sofyan Tsauri, menceritakan kisahnya saat ditangkap 11 tahun lalu.

Sofyan Tsauri menulisnya di laman Facebook pribadi.

"6 Maret 2010 Malam pertama Bersama Densus 88," demikian judul tulisannya di akun fbnya.

Tulisnnya terdiri atas tiga bagian.

Bagian satu, Sofyan Tsauri menuliskan tentang hal yang dilakukannya saat lolos dari pengepungan Densus 88 dan Brimob Polda Aceh.

Pada bagian itu pula ia menuliskan ringkas bahwa dirinya ditangkap pada 6 Maret 2010.

Namun, nyawanya selamat karena saat itu Tim Densus 88 tidak menembak mati dirinya, karena ia sedang bersama istri dan anak-anaknya.

Sofyan Tsauri merupakan mantan polisi anggota Sabhara yang berdinas di Polres Depok, yang terlibat terorisme jaringan Al Qaida Asia Tenggara.

Pada 2002, Sofyan dikirim ke Biureun, Aceh, dalam penugasan Perintis Sabhara. Sofyan salah satu anggota Polres Depok berpangkat bintara yang dikirim ke sana. Selama bertugas di Biureun, Sofyan mulai terpapar pemikiran Aman Abdurahman, pimpinan Jemaah Ansharut Daullah (JAD).

Singkat cerita, Sofyan Tsauri divonis 10 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Depok. Sofyan bebas pada 21 Oktober 2015 dari Lembaga Permasyarakatan Cipinang setelah mendapatkan remisi. 

***

Berikut tulisan lengkap Sofyan Tsauri bagian 1.

"6 Maret 2010 Malam pertama Bersama Densus 88  (bag.1)"

Setelah lolos dari pengepungan Densus 88 dan Brimob Polda Aceh, saya pulang ke Jakarta kembali, mengambil beberapa pucuk senjata lagi yang saya simpan, kamp militer yang saya pimpin di Samalanga Bireuen tercium aparat polres Bireuen.

Sebelumnya, Ikhwah yang lolos dari Jalin Jantho Aceh Besar meluncur ke kamp militer yang saya pimpin, sebagai bentuk amniyyah, hape dan alat komunikasi lainnya saya lucuti, disiplin jejak digital agar musuh tidak mudah mendeteksi keberadaan kamp militer yang berikutnya.

Tetapi apa lacur, masih ada saja yang tidak disiplin menggunakan HP dengan koordinat gudang senjata dan peluru yang saya simpan.

Saya cuma bisa manyun, suasana tegang, beberapa Ikhwan tertangkap di Jantoi.

Saya memprediksi, cepat atau lambat Densus 88, Team anti bandit polres Bireuen dan Brimob Polda Aceh pasti akan mengendus posisi saya.

Ada 30 Ikhwah di hutan Samalanga saat itu, dengan persenjataan 10 pucuk campuran yang terdiri dari AK 47 4 pucuk dan 2 M16 dan beberapa senpi pendek.

Saat itu tanggal 22-25 Februari 2010, Densus 88 meluncur ke Aceh, karena banyaknya DPO Bom Marriott dan Ritz-Carlton lari ke kamp Aceh untuk bergabung.

Rencananya kami akan membuat teror lanjutan setelah tewasnya Noerdin M Top, kali ini Dulmatin lah yang memimpin Amaliat kami.

Mata-mata kami melaporkan ada beberapa orang mencurigakan memasuki kamp.

Saya bergegas merapikan barang-barang lainnya.

Adapun beberapa barang yang tidak mungkin diangkut kita tinggal diantaranya 20 ribu amunisi.

Beberapa pucuk AK 56 dan M16 kami timbun sementara.

Kami bergeser ke Lhokseumawe Aceh Utara, di Aceh Utara kami kembali ke Kamp ke 3 di daerah Payak Bakong.

Ternyata dugaan saya benar, satu kompi Brimob menyisir Samalanga, dan puluhan ribu amunisi, beberapa pucuk AK dan M16 ikut ditemukan.

Sejak saat itu nama saya masuk daftar DPO Mabes Polri, saya bergeser ke Aceh Timur setelah beberapa satuan Mabes Polri menuju Lhokseumawe.

HP kita betul-betul jadi bumerang.

Saya matikan HP membuat saya tidak bisa kordinasi dengan anak buah.

Menghidupkan HP membuat keberadaan kami diketahui aparat keamanan.

Saya harus mencari senjata-senjata kembali di Jakarta, saya begitu marah atas kecerobohan beberapa anak-anak Aceh yang menyimpan senjata sehingga berhasil ditemukan aparat.

Tanggal 1 Maret 2010 saya berhasil sampai di Jakarta, tempat yang pertama kali saya kunjungi adalah Depok, tetapi bukan pulang melainkan ke rumah rekan saya di daerah Depok timur.

3 hari di Depok saya bergeser ke arah Cileungsi Bogor.

Beberapa jaringan anak buah saya sulit dihubungi, mereka mulai menyelamatkan diri, sementara terdengar bentrokan senjata di Langkebue Aceh Besar di media massa, menewaskan 3 densus dan Brimob Aceh dan puluhan luka-luka.

Tepatnya tanggal 6 Maret 2010 saya tertangkap Densus 88 di Pangkalan 9 jalan raya Narogong, Cileungsi Bogor.

Padahal hari itu mereka baru saja menguburkan rekannya Briptu Boas yang gugur bertempur dengan rekan-rekan saya di Aceh.

Bayangkan betapa marahnya mereka saat itu, lalu setelah itu mereka berhasil menangkap saya.

Nyawa saya selamat karena saat itu sedang bersama istri dan anak2 yg masih kecil-kecil.

Padahal Densus 88 menargetkan saya mati, karena untuk membalas dendam atas kematian rekan2 mereka di Aceh.

(Bersambung ke bag. 2)

***

Pada bagian 2, Sofyan Tsauri menjelaskan secara detil bagaimana dia ditangkap Densus 88.

Rupanya, Densus 88 menyadap nomor telpon Sofyan Tsauri dan istrinya. Sehingga segara gerak geriknya sudah diketahui Densus 88.

Ia berhasil ditangkap Densus 88. Saat itu Sofyan Tsauri berada di mobil bersama istri dan anak-anaknya.

Densus 88 tidak menembak mati dirinya. Namun dia dibawa oleh Densus 88 ke suatu tempat. Matanya dilakban ketat agar tidak bisa dilihat.

"6 Maret 2010 Malam pertama Bersama Densus 88 (bag.2)"

Tepat 11 tahun yang lalu merupakan awal kelam dari kehidupan saya, berhenti semua dari petualangan saya dalam usaha mencari kebenaran hakiki dalam hidup.

Bermula saya menghubungi istri saya.

Saya sudah menggunakan HP dan nomor baru agar tidak terlacak, demikian istri juga menggunakan HP dan nomor baru yang saya belikan sebelum saya tertangkap.

Saya katakan kepada istri saya, kamu gunakan HP dan nomer ini ketika polisi mencari Abi, Ingat jangan menghubungi orang2 dengan hp ini kecuali hanya ke Abi.

Nomer dan jalur khusus ini memang sudah kami persiapkan jauh2 hari, *ketahuan niat banget jadi teroris demikian kata densus 88 ketika saya baru tertangkap.

Dugaan saya salah, mereka sudah mengeblok nomer di rumah saya.

Densus sudah mengontrak di samping rumah.

Mereka mengawasi 24 jam rumah saya, orang tua dan mertua saya, mereka memasang alat penyadap, sehingga nomer siapa saja yang masuk pasti ketahuan Densus 88.

Saya mengatakan kepada istri saya, tolong kamu awasi di belakang kamu.

Jika ada yang mengikuti kamu, batalkan pertemuan kita, kamu berhenti dulu di GIANT Cimanggis, kamu belanja dulu ya, kata saya terus membimbing, Aman bi, kayaknya tidak ada yang ikuti, balas istri disana.

"Oke kalau begitu," kata saya.

Padahal nomer istri dan saya sudah tersadap.

Densus pun bersiap-siap melakukan persiapan menangkap saya saat itu.

Pasukan Densus 88 dari team yang bernama SW Silent Warrior untungnya sedang di Aceh memburu rekan2 kami yang lain.

Sementara di Jakarta kosong pasukan, tetapi densus mengawasi HP saya yang hidup mati dalam perjalanan.

Densus 88 memprediksi bahwa sofyan Tsauri berjalan menuju Jakarta, operasi penangkapan saya pun di lakukan.

Kembali ke istri saya, densus 88 terus membuntuti istri dari jarak jauh, mereka ikuti kemana istri saya berjalan, tampa disadari istri saya saat itu dst.

Ketika sudah mulai mendekat titik yang telah saya tentukan, mobil taksi yang ditumpangi istri berhenti.

Saya pun mengamati lama, takut ada mobil yang mengikuti, sepucuk senjata FN full amunisi saya persiapkan.

Merasa aman kanan dan aman kiri saya pun keluar dari tempat persembunyian, dan berjalan cepat menghampiri mobil taksi.

Alhamdulillah saya bertemu dengan istri kembali.

Anak-anak saya yang masih kecil-kecil pun kegirangan bertemu Abi nya.

Saya segera memangku anak saya yang berumur 3 tahun, seraya menggendong bayi 10 bulan saat itu.

Setelah beberapa bulan terpisah karena DPO Mabes Polri saat itu, saya memang telah menjadi DPO sejak Januari dari Polda Kalimantan Timur saat ketahuan menjual senjata api keberapa pengusaha.

Saat itu nama saya dicari Polda Kaltim dan Mabes Polri.

Kasus penjualan senjata api di Kaltim pun di ambil alih Mabes Polri.

Tepat di pertigaan Jalan Narogong pangkalan 9 keluar kota wisata jam 17.45 WIB, mobil taksi saya dicegat dan dipalang oleh beberapa mobil.

Sopir taksi pun kaget mengerem mendadak, bunyi letusan senjata bertubi-tubi.

Saya belum menyadari apa yang sedang terjadi, respek saya memegang pistol, lalu saya kokang.

"Krak Krek" saya pun memperbaiki posisi saya bersiap2.

Tiba2 pintu mobil taksi dibuka dan ditodongkan pistol laras panjang dan pendek ke arah saya, ada sekian detik waktu saya untuk mengambil sikap.

Posisi saya bersebelahan dengan ummi yang sedang menggendong bayi, anak yang saya pangku berumur tiga tahun yg bernama Thoriq saya berikan kepada umminya, hal itu menyulitkan saya bertindak.

Balas tidak balas tidak, tidak pikir saya, jika saya balas menembak, pasti tembakan Densus 88 akan mengenai anak-anak saya.

Saya dibentak disuruh keluar, "KELUAR KELUAR!!!" seiring bunyi letusan senjata tidak berhenti.

Anak-anak ketakutan dan menangis, istri sayapun ikut menangis.

Sayapun panik dan mulai menyadari bahwa saya sepertinya akan ditangkap.

Saya pun mengangkat tangan, lalu ditarik oleh Densus 88 untuk tiarap di jalan, lalu kaki dirantai dan tangan saya diborgol.

Anak-anak sayapun berteriak "Abii-Abiii"...dalam benak hati anak2 saya Ayyash (7tahun) dan Thoriq (3tahun) Abi telah ditembak mati.

Setelah diborgol dan diikat kaki dengan rantai saya pun dimasukan ke dalam mobil.

Saat itu juga mata saya dilakban kuat, agar saya tidak bisa melihat.

Waktu itu menjelang magrib mulai gelap, segelap nasib saya saat itu, saya pun mulai di bentak2.

"Hay Bangsat kamu, kamu pengkhianat Polisi kan?!"

"Kamu gabung teroris kan, kamu tahu tidak, kelompok membunuh Briptu Boas, kamu yang nembak kan?!" terus mereka membentak marah kepada saya.

"Hay Sofyan, kamu dari Aceh kan, ngaku saja kamu!"

Saya pun lemas, perbuatan saya terbongkar.

Kata Yudi, kamulah yang memberi senjata kepada teroris kan, dari mana senjata2 itu, kau dapatkan dari mana senjata itu, kamu yg mengdoktrin anak-anak Aceh kan, kamu bendahara Al-Qa3da kan, terus saja mereka bertanya, saya pun shock saat itu.

Malam itu menjadi malam pertama saya dengan Densus 88, tepat 11 tahun yang lalu di detik yang sama ketika saya menulis ini.

Mereka mulai memukuli wajah saya, perut dan dada, kami dari tulang kering hingga paha, entah berapa ratus kali pukulan itu terus mendarat di tubuh saya.

Saya hanya bisa beristighfar dan sesekali takbir.

Setiap saya mengucapkan Takbir semakin keras mereka menyiksa saya.

Lantas salah satu Densus 88 berbicara, apa pantas kamu mengucapkan takbir dengan membunuh kawan2 kami.

Saya diam tidak lagi bertakbir.

Salah satu Densus 88 mengatakan, kamu baru daging ketemu daging aja sudah nangis, belum kayu ketemu daging, dan besi ketemu daging, mungkin maksudnya pukulan ke muka itu daging ketemu daging, lalu kayu, mereka menggunakan kayu untuk memukul, lalu besi dst.

Inilah pengalaman menyakitkan selama saya hidup, terbacoknya saya dan digebukin didalam kereta belum seberapa sakitnya dibandingkan malam pertama bersama Densus 88.

Pembacokan clurit masa sekolah amatlah singkat, bahkan tidak berasa, hanya seperti mengalami pukulan balok, lalu perih, mata kunang2 pingsan kehabisan darah, sadar2 sudah di ruang operasi rumah sakit.

Tetapi kali ini beda, sakitnya semalaman, saya pingsan beberapa kali, hingga pukulan2 tidak berasa di tubuh.

Ya saya pingsan berkali-kali, tak terasa saya terkencing2 dan terberak-berak menahan sakitnya siksaan.

Di sela-sela pingsan antara sadar dan tidak, saya ijin melakukan sholat magrib dan Isya, dengan posisi duduk tanpa bisa tayamum lagi, bahkan dengan pakaian penuh najis kencing dan BAB.

Saya yakin Allah Ta'ala memberikan Udzhur kepada saya.

Seumur-umur baru kali itu saya sholat dengan penuh najis.

Saya pun mulai bertakbir dengan suara lirih, mulut terasa sakit karena bibir pecah bengkak, mata tidak bisa melihat, dan bercampur dengan amisnya darah dimana2.

Entah berapa rekaat saya sholat, tidak ingat lagi jumlahnya, dalam keadaan linglung, antara sadar dan tidak, saya menerima ujian ini dengan sabar.

Saya menangis mengingat bagaimana kabar anak-anak dan istri.

Entah mereka ada dimana.

Dalam hati saya berkata, ya Allah inilah airmata, darah dan debu Sabilillah.

Saya ridho dan ikhlas jika saya mati malam ini, maafkan dosa2 saya.

Cabutlah nyawa saya sekarang juga.

Saya tidak tahan siksaan ini.

Ya Allah inilah bukti cinta saya pada Dien ini.

Ya Allah wafatkan saya malam ini juga.

Sayapun pingsan untuk beberapa kalinya.

Sayapun dibangun kembali oleh beberapa anak2 muda.

Bang bangun bang, minum dulu, saya pun bangun.

Saya pikir saya sudah dikubur, mata saya masih dilakban.

Saya ditawari minum oleh anak2 muda yang ternyata Bintara remaja.

Mereka baru bergabung dengan Densus, mereka masih polos2.

Mereka menuangkan minuman ke bibir saya, saya memang kehausan, karena semalaman teriak2 kesakitan.

Lalu Densus muda mngatakan, "Duh bang sampai begini amat bang, sayang badan bang, kasihan anak2 dan istri Abang, bagaimana masa depan mereka bang, besok jangan diulang lah bang, kasihan anak2, tadi pas Abang disiksa, istri sama anak denger loh, mereka ikut nangis dengar Abang disiksa."

Ketika saya sudah di lapas Cipinang saya bertanya ke umminya, emang waktu Abi disiksa ummi dengar Abi teriak2 sambil nangis?

Lalu ummi menjawab, iyalah itu di rumah sakit Tamrin jalan Narogong jam 7 waktu Isya dan di depan gereja Brimob Kelapa dua, sekitar jam 12 malaman bi, kata istri polos.

(Bersambung ke bag.3)

***

Bagian 3

Pada akhir bagian 3, Sofyan Tsauri menjelaskan tujuannya menulis kisahnya tersebut.

Ia berharap kisahnya dijadikan pelajaran. Agar setiap orang berhati-hati mencari seorang guru.

Kata dia, pastikan mencari guru atau ustad yang mencintai negeri ini.

Cari yang memiliki hikmah dan emosi yang stabil. 

Berikut tulisan lengkap Sofyan Tsauri bagian 3 (terakhir):

"6 Maret 2010 Malam pertama Bersama Densus 88 (bag.3 Tulisan Terakhir)"

Malam itu tertangkap 5 orang kawan2 saya, dua dibebaskan karena tidak terbukti, yaitu (Alm) Suyono dan Didi Pusianto, sedangkan 3 lainnya ditangkap, yaitu Ahmad Sutrisno, Tatang dan Abdi, tertangkapnya langsung dirilis oleh Kapolri bapak Bambang Danuri.

Sejak itu nama saya terkenal dimana2, masalahnya saya mantan anggota polri polres Depok.

Baru kali ada Teroris yang berasal dari anggota polisi, karena rumah saya dekat markas Brimob kelapa dua.

Sejak itu mungkin orang menganggap bahwa saya anggota Brimob, termasuk HR5 yang ngotot saya anggota Brimob.

Padahal bukan.

Brimob memang anggota polisi, tetapi tidak setiap anggota Polri pasti Brimob.

Mobil yang saya tumpangi densus menuju ke sebuah hotel kecil di daerah Cawang, tepat jam 7 saya sampai di hotel tersebut.

Menurut UU Densus 88 punya waktu 7 hari untuk melakukan pengembangan, berbeda dengan kasus kriminal umum yang jika 1x24 jam tidak ada bukti, maka dia wajib dibebaskan, tetapi tidak bagi kasus Terorisme, tetapi dengan revisi UU NO 15 tahun 2002, diperpanjang menjadi 21 hari tanpa memberikan surat penahanan.

Saya pun turun dari mobil, tetapi saya terjatuh, karena paha saya bengkak2 karena siksaan malam itu.

Akhirnya saya dipapah ke dalam hotel dengan tertatih-tatih dengan rantai di kaki, masuk kedalam hotel sudah ada nasi uduk lengkap dengan teh manis.

Saayapun di suruh makan dan minum teh manis, borgol tangan saya dibuka, dengan tangan bengkak2 akibat terlalu kencang.

Jari2 saya membengkak karena macetnya aliran darah, tampak darah kering di tangan, hingga saat ini masih berbekas.

Sayapun makan dan minum sekedarnya, dan dibelikan baju kaos dan celana pendek untuk ganti.

Saya minta ijin untuk mandi, karena celana dan baju bau pesing dan berdarah-darah.

Saya pun berkaca melihat tubuh saya saya hancur berantakan, muka bengkak2, bibir pecah2, dada merah dan biru2, tangan dan paha bengkak kebiruan.

Apakah ini kejam, buat saya biasa aja, maklum aja, namanya pasukan kalah perang, bebas aja sih, namanya juga Teroris.

Siapa sih yang mau belain, gak ada lah, kalau kita mati aja banyak warga masyarakat menolak kita, padahal tinggal mayat doang.

Sayapun mulai di BAP, disuruh menjawab beberapa pertanyaan, termasuk nomer telp yang saya hubungi selama ini.

3 hari di hotel saya dibawa ke Polda Aceh untuk pengembangan lebih lanjut.

Demikian kisah 11 tahun yang lalu, tepat 6 Maret 2010 saya di tangkap.

Semoga kisah ini bisa di ambil pelajaran, bukan untuk menginspirasi atau ditiru, hendaknya berhati-hati mencari seorang guru.

Pastikan guru atau Ustad anda yang mencintai negeri ini.

Negeri kaum muslimin, carilah ulama2 yang betul2 Ulama.

Cari yang memiliki hikmah dan emosi yang stabil. Selesai.

(Tribunnews/Fb Sofyan Tsauri)

6 Maret 2010 Malam pertama Bersama Densus 88 (bag.1) Setelah lolos dari pengepungan Densus 88 dan Brimob Polda Aceh...

Dikirim oleh Sofyan Tsauri pada Jumat, 05 Maret 2021

6 Maret 2010 Malam pertama Bersama Densus 88 (bag.2) Tepat 11 tahun yang lalu merupakan awal kelam dari kehidupan saya,...

Dikirim oleh Sofyan Tsauri pada Sabtu, 06 Maret 2021

6 Maret 2010 Malam pertama Bersama Densus 88 (bag.3 Tulisan Terakhir) Malam itu tertangkap 5 orang kawan2 saya, dua di...

Dikirim oleh Sofyan Tsauri pada Sabtu, 06 Maret 2021

Ikuti kami di channel Whatsapp : https://whatsapp.com/channel/0029VaMoaxz2ZjCvmxyaXn3a | 

Ikuti kami di channel Telegram : https://t.me/kontenislam


Download Konten Islam Di PlayStore https://play.google.com/store/apps/details?id=com.cleova.android.kontenislam

Ikuti Kami Di Goole News : Google News Konten Islam

close