Wakaf Dari Perspektif Makro-Ekonomi

https://awsimages.detik.net.id/community/media/visual/2020/10/22/investasi_169.jpeg?w=700&q=90

KONTENISLAM.COM - Tidak hanya Indonesia, Uni Eropa bahkan negara adidaya Amerika Serikat juga mengalamai goncangan ekonomi yang sangat mengkhawatirkan. Pandemi Covid-19 menjadi penyebab melesetnya proyeksi pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia sejak akhir tahun 2019 lalu. Saat ini, semua pemerintahan sedang bergelut dengan berbagai upaya dan sisa-sisa kekuatan untuk bisa keluar dari resesi ekonomi ini. Namun, faktanya pandemic masih saja menjadi penghalang besar dan cenderung semakin memburuk.

Pemerintah kita dengan dukungan aparatur bidang ekonomi bergerak tanpa henti mencari solusi untuk menjaga perputaran roda pemerintahan tetap berjalan. Bahkan terkini, ada upaya dari pemerintah untuk menarik pajak dari berbagai macam produk hingga ke bahan-bahan pokok yang menjadi hajat primier masyarakat umum. Bayangkan, betapa kalutnya pemerintah sehingga hal-hal kecil yang notabene kebutuhan dasar hidup tidak luput dijadikan objek pajak. Sekalipun, sekalipun di sisi lain, pinjaman dari negara donor tetap di-proposed sehingga hutang negara semakin menggunung.

Kebalikannya, Kanselir Jerman Angela Merker, secara blak-blakan meminta anggota Uni Eropa untuk mengurangi pinjaman pemerintah. Jika tidak dilakukan, dia khawatir beban pemerintah negara-negara Uni Eropa akan semakin berat. Seandainya itu terjadi, nilai mata uang mereka akan terjun bebas dan ekonomi eropa akan lumpuh pada titik resesi yang tidak terbayangkan. Bahkan Merker juga meminta European Central Bank (ECB) untuk tidak membeli obligasi pemerintah. Intinya, dunia dalam ancaman tsunami ekonomi yang hebat.

Sebenarnya, pemerintah Indonesia sudah mengambil solusi yang baik dengan meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) per awal Januari 2021. Namun masalahnya gerakan ini seakan kehilangan suara. Tidak terdengar gemanya di jagat katulistiwa nusantara. Seakan lenyap hilang bersama hembusan angin laut dan dibawa entah kemana. Jika hendak ditelisik kenapa, mungkin jawabannya bisa beragam. Dari kemungkinan pepesan kosong, atau seremonial belaka hingga kemungkinan kurangnya pemahaman terhadap fungsi wakaf diantara para pemangku jabatan. Setidaknya, fakta yang terpampang dihadapan kita sekarang adalah Gerakan Nasional ini telah berubah wujud menjadi Gerakan Tak Tentu Arah.

Terlepas dari itu semua, sesungguhnya telah banyak tersedia hasil penelitian ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuan dan akademisi terkait dengan permasalahan wakaf di Indonesia. Terutama paska diperkenalkannya Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf. Sekalipun fatwa MUI tahun 2002 telah diperkuat oleh UU No. 41 tersebut bahkan disokong lagi oleh beberapa peraturan terkait, namun tetap saja pergerakan wakaf di Indonesia seakan jauh panggang dari api. Tidak bergerak dan tidak memiliki pengaruh nyata dalam kehidupan. Bandingkan dengan zakat, infaq atau sedekah yang nyata perkembangan dan eksistensinya di tengah masyarakat.

Harus diakui, banyak dari kita yang muslim ini tidak mengenal betul apa itu wakaf. Terma wakaf sendiri seakan tenggelam hingga kita lupa bahwa ada ajaran itu di dalam jurisprudensi Islam. Yang akrab di telinga kita selama ini hanya zakat, infaq dan sedekah.

Wakaf sesungguhnya merupakan sebuah perangkat sosio-ekonomi yang unik dan hanya dimiliki oleh agama Islam. Rekam sejarah peradaban Islam menorehkan catatan emas tatkala menceritakan peran wakaf dalam bidang perekonomian. Oleh karena itu, memahami peran dan kontribusi wakaf terhadap ekonomi harus benar-benar dilakukan. Berbeda dari zakat, infaq dan sedekah yang lebih bersifat konsumtif, wakaf jika dikelola secara baik akan menjadi sebuah instrument ekonomi yang bersifat produktif. Bayangkan, benda wakaf tidak boleh habis, keberadaannya harus dipertahakan sehingga ia bisa “diputar” untuk jangka waktu yang panjang dalam sebuah alokasi bisnis. Bahkan, keuntungan atau hasil dari pengelolaan asset wakaf ini bisa dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat tanpa ada pengelompokan tertentu selayaknya mustahiq zakat.

Terlebih lagi, secara praktis, wakaf juga terbuka bagi semua golongan. Dari sudut pandang fikih, siapa saja boleh berwakaf, muslim atapun non-muslim. Hal ini semakin memperluas kesempatan berwakaf yang secara otomatis akan memperbanyak akumulasi asset atau harta wakaf yang bisa dijadikan modal kerja. Ini baru sedikit dari pada keunikan yang ada pada wakaf.

Faktor ini juga yang telah menciptakan golden story bagi wakaf dalam sejarah peradaban manusia. Para peneliti mengatakan bahwa wakaf terbukti dapat berperan aktif dalam upaya menyediakan keperluan publik. Peran ini sangat signifikan dalam mengurangi beban pengeluaran dan pinjaman atau hutang pemerintah. Pada akhirnya juga dapat mengarah pada pengurangan beban pajak pada masyarakat yang kemudian akan meningkatkan potensi penghematan yang dapat dibelanjakan untuk investasi swasta dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Di negara-negara Islam yang secara serius menggerakkan wakaf, sistem wakaf merupakan pelaku ekonomi yang paling dominan di luar pemerintah dan dianggap sebagai wahana utama penggerak roda ekonomi masyarakat. Sebuah studi terhadap 104 yayasan wakaf di Mesir, Syria, Turki, Palestina dan beberapa negara lain menyebutkan bahwa pada kurun waktu 1340-1947, porsi terbesar harta wakaf berupa real estate yang mencapai 93%. Bayangkan, 58% wakaf terkonsentrasi di kota-kota besar yang terdiri dari toko, rumah dan bangunan, 35% wakaf berada di desa-desa yang terdiri dari lahan pertanian, perkebunan dan tanaman lainnya. Sementara sisanya (7%) dalam bentuk uang tunai (cash endowment). Perlu diketahui bahwa wakaf dalam bentuk tunai dan dalam bentuk penyertaan modal telah dikenal pada zaman Mamluk dan Turki Utsmani dan sekarang diterima secara luas di Turki modern, Mesir, India, Pakistan, Iran, Malaysia, Singapura, dan banyak negara lainnya.

Kondisi tersebut di atas tentu tidak mengherankan jika kita melihat catatan dari beberapa studi lainnya yang menyatakan bahwa hampir 75% dari seluruh tanah yang dapat ditanami di Daulah Khilafah Usmaniyah adalah tanah wakaf. Separuh (50%) tanah di Aljazair, pada masa penjajahan Prancis pada pertengahan abad ke-19 adalah tanah wakaf. Selama periode yang sama, 33% tanah di Tunisia adalah tanah wakaf. Di Mesir sampai tahun 1949, 12,5% tanah pertanian adalah tanah wakaf dan ada tahun 1930 di Iran, sekitar 30% dari tanah yang ditanami adalah tanah wakaf. Tentu banyak lagi catatan yang dapat membuka mata kita bahwa wakaf mampu berperan sebagai penyokong utama perekonomian masyarakat sekaligus sebagai partner ideal bagi pemerintah dalam bidang ekonomi secara makro.

Bahkan wakaf juga mampu berperan membiayai berbagai keperluan pendidikan dan kesehatan publik. Misalnya di Mesir, Arab Saudi, Turki dan beberapa negara lain, pembangunan dan berbagai fasilitas seperti infrastruktur untuk keperluan pendidikan dan kesehatan telah dibiayai dengan memanfaatkan wakaf. Sustanibilitas manfaat wakaf dimungkinkan dengan pengelolaan aset wakaf secara produktif untuk mendukung berbagai kegiatan sosial dan keagamaan. Wakaf produktif yang umumnya berupa tanah pertanian atau perkebunan dan bangunan komersial, dikelola sedemikian rupa untuk menghasilkan keuntungan yang sebagian dari keuntungan itu akan digunakan kembali untuk membiayai kegiatan tadi. Dengan demikian, hasil dan aset wakaf benar-benar merupakan sumber dana dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Bayangkan hal ini bisa terjadi, pemerintah akan sangat terbantu atau setidaknya pemerintah tidak perlu lagi tergantung kepada hutang atau pinjaman. Inilah salah satu relevansi modern dari fungsi wakaf.

Selain itu, pengurangan pinjaman atau hutang pemerintah akan menekan efek crowding-out dan konsekwensi positifnya adalah penurunan suku bunga. Dengan ini, kran investasi dan pertumbuhan swasta akan secara luas terbuka. Jangan lupa juga bahwa salah satu tujuan utama dalam sistem ekonomi Islam adalah menghapus sistem bunga itu. Maka, wakaf yang mampu menurunkan suku bunga ini bisa menjadi alat penting bagi ekonomi makro Islam. Wakaf dapat memenuhi fungsi-fungsi ini manakala orang-orang berada dan para dermawan berperan aktif dalam berwakaf dan kemudian asset-aset tersebut dikelola secara produktif oleh nadzir-nadzir, baik swasta maupun pemerintah.

Aset atau harta yang terkumpul akan menjadi berkah untuk kemudian digunakan membiayai segala macam kebutuhan sosial masyarakat. Ekonomi akan terdistribusikan secara merata dan instrument pajak akan otomatis berkurang. Pembebanan nilai pajak yang rendah sudah pasti berdampak positif pada produksi agregat dan pada saat yang sama mengurangi biaya produksi barang. Jelas, harga barang dan kebutuhan public lainnya akan turun bahkan membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi dengan nilai inflasi yang sangat rendah. Artinya, pemerintah tak perlu panik dengan menjadikan segala objek yang ada di perut ibu pertiwi ini sebagai objek pajak. Sungguh kiranya hal itu amat sangat memberatkan dan menambah berat beban kehidupan masyarakat di tengah himpinan pandemic Covid-19 saat ini.

Semua ini bukanlah sekedar teori. Sejarah Islam telah membuktikan. Kita hanya perlu belajar lebih banyak tentang wakaf agar memiliki pemahaman dan kesadaran yang utuh terhadap fungsi-fungsi istimewa yang melekat padanya. Berkaca dari negara-negara Islam lain sehingga kita bisa menggerakkan Gerakan Nasional Wakaf Uang dengan ritme dan simponi yang indah demi mewujudkan kesejahteraan hidup bersama.

Oleh: Sofiandi, Lc., M.H.I., Ph.D

Dosen IAI Arrisalah INHIL Riau, meraih gelar S-3 di Univerisiti Tun Hussein Onn Malaysia dengan disertasi mengenai manajemen wakaf. Saat ini tercatat sebagai Research Fellow di IRDAK Institute of Singapore dan Research Fellow di Fath Institute for Islamic Research.

Ikuti kami di channel Whatsapp : https://whatsapp.com/channel/0029VaMoaxz2ZjCvmxyaXn3a | 

Ikuti kami di channel Telegram : https://t.me/kontenislam


Download Konten Islam Di PlayStore https://play.google.com/store/apps/details?id=com.cleova.android.kontenislam

Ikuti Kami Di Goole News : Google News Konten Islam

close