“Bau Amis” Teror Komunis (1): Kiai Ditikam, Mahasiswa Dimutilasi - KONTENISLAM.COM Berita Terupdate

“Bau Amis” Teror Komunis (1): Kiai Ditikam, Mahasiswa Dimutilasi

komunis 

KONTENISLAM.COM - SUDAH 76 tahun Republik Indonesia merdeka. Namun bangsa ini belumlah pulih dari luka lama akibat kekejaman dan upaya kudeta Komunis.
 
Bau amis mayat korban kekejaman kaum anti-Tuhan itu seakan masih menyengat hidung dan tak kunjung hilang. Sejarah berdarah-darah itu pun terus diputar: mulai dari penculikan, penganiayaan, pembantaian, pembunuhan, penistaan agama, hingga pemberontakan. Korbannya dari para santri, ulama, tokoh nasional, sampai jenderal.

Inilah sekelumit kesaksian korban dan saksi mata teror Partai Komunis Indonesia (PKI). Kesaksian penting demi mengingatkan bahaya laten PKI, agar tidak terulang lagi.

***

Telinga, tangan, dan –maaf– kemaluan mereka dipotong. Mutilasi itu bagian dari penyiksaan dan pembunuhan sadis yang nyaris saja dialami KH. Muhammad Amir.

Adapun dua orang anak asuh binaan Kiai Amir, yaitu Baharun dan Miftah, menjadi korban. “(Mereka) itu dibunuh sama PKI,” ujar Kiai Amir.

Kamis, 30 September 1965, tragedi pembantaian dan pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan para anteknya terjadi di berbagai daerah, termasuk di Ngruki, Jawa Tengah, kediaman Kiai Amir.

Hari itu sebelum kejadian, tuturnya, banyak anggota Pemuda Rakyat datang dari Solo ke Ngruki. Malamnya, sekitar pukul 11 waktu setempat, sayap organisasi pemuda PKI itu rapat. Mereka merencanakan pembunuhan terhadap Kiai Amir dan sejumlah orang lainnya pada pukul 1 dinihari.

Malang tak bisa ditolak, mujur tak dapat diraih. Dua dari 9 orang mahasiswa yang selama ini mengaji kepada Kiai Amir, tewas di tangan aktivis Komunis. Mereka disergap di asrama mahasiswa milik Kiai.

“Dua orang (mahasiswa) itu kecekel (kepegang) oleh pemuda PKI, dibunuh dengan cara yang sadis. Dipotong kemaluannya, dipotong telinganya, sehingga dikubur,” tuturnya kepada Suara Hidayatullah, Juli 2020.

Kiai Amir juga nyaris jadi korban. “Tapi istri Ketua PKI itu dengan saya baik, memberitahu saya, ‘Bapak pergi saja sebab nanti jam 1 malam Bapak mau diambil untuk dibunuh.’ Saya itu walaupun banyak tetangga yang PKI, saya berbuat baik terus kepada mereka,” tuturnya.

Kiai Amir  segera memboyong keluarganya meninggalkan Ngruki menuju Solo, tempat kakak kandungnya. Mereka menyusuri sungai.

Selain dirinya, ayahnya juga nyaris dibunuh. Syukur Alhamdulillah, sang ayah selamat.

“Ayah saya masuk ke sungai sehingga tidak terkejar oleh PKI. Rumah saya dulu dekat dengan sungai, bapak saya lari, masuk ke sungai hingga bisa aman,” tutur kiai berusia 85 tahun, beristri satu dan 14 anak ini.

Sebelum menetap di Ngruki, Kiai Amir merupakan Lurah (Ketua Pengurus Harian) Pondok Pesantren Jamsaren, Surakarta, dikenal sebagai ponpes tertua di Indonesia. Setelah menikah pada tahun 1963, ia pindah ke Ngruki, menempati rumah dan tanah pemberian mertuanya.

Ternyata banyak pendukung Komunis di situ sehingga disebut kampung PKI. “Orang Islam kira-kira tidak lebih dari 15 orang.”

Sebagai dai, Kiai Amir aktif mengajak masyarakat untuk memegang teguh tauhid dan menjauhi syirik. Aktif pula membina banyak pelajar dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Kiprah dakwahnya rupanya tak disukai kaum Komunis.

“Saya dimusuhi oleh orang-orang PKI itu. Saya kan dikenal sebagai mubaligh di sekitar Solo itu, sehingga saya ditulis dan diancam untuk dibunuh,” tuturnya.

Meski tahu akan diculik pada tragedi pemberontakan G30S/PKI itu, Kiai Amir tak sempat menolong dua mahasiswanya. Sedangkan 7 mahasiswa lainnya berhasil menyelamatkan diri.

“Karena belum ada telepon, belum ada apa-apa, sehingga saya tidak bisa memberi kabar (akan ada penculikan),” tuturnya.

Menurut Kiai Amir, saat itu daerah di sekitar Solo banyak dikuasai PKI, termasuk Wali Kota Solo (saat itu) Oetomo Ramelan adalah orang PKI. “Tentaranya juga banyak PKI. Jadi mereka kuat,” tuturnya.

Pasca peristiwa pemberontakan G30S/PKI, pasukan dari Divisi Siliwangi datang ke Solo untuk menumpas PKI. Kiai Amir pun melaporkan semua tokoh-tokoh PKI di daerahnya kepada pasukan Siliwangi.

Meskipun bersyukur ia selamat dari upaya pembunuhan oleh PKI, namun Kiai Amir tak kuasa menahan getirnya saat melihat jenazah dua mahasiswanya yang dibunuh PKI secara keji.

“Ketika kita buka kuburannya, (mayat-mayat) itu keadaannya kasihan sekali,” ungkap Ketua Majelis Pembina Yayasan Al-Mukmin Ngruki ini.* (bersambung)

Sumber: Majalah Suara Hidayatullah edisi Agustus 2020.

Ikuti kami di channel Whatsapp : https://whatsapp.com/channel/0029VaMoaxz2ZjCvmxyaXn3a | 

Ikuti kami di channel Telegram : https://t.me/kontenislam


Download Konten Islam Di PlayStore https://play.google.com/store/apps/details?id=com.cleova.android.kontenislam

Ikuti Kami Di Goole News : Google News Konten Islam

close