Diklaim Terlibat Jaringan Squid Game di Dunia Nyata, Profesor Terkemuka Serukan Boikot Ahli Bedah China

Diklaim Terlibat Jaringan Squid Game di Dunia Nyata, Profesor Terkemuka Serukan Boikot Ahli Bedah China 

KONTENISLAM.COM - Seorang dokter transplantasi organ terkemuka menyerukan agar rumah sakit dan universitas di seluruh dunia tidak lagi melibatkan ahli bedah China dalam proyek apa pun.

Pasalnya para ahli bedah Negeri Tirai Bambu itu “dikhawatirkan” ikut ambil bagian dalam praktik pengambilan paksa organ manusia demi uang layaknya Squid Game di kehidupan nyata.

Kepada Daily Mail Australia pekan ini, Profesor Russell Strong mengatakan banyak yang mengikuti pelatihan medis dari China, menggunakan ilmu yang didapat dari Barat  untuk operasi pengangkatan organ manusia yang merupakan praktik “kill to order” atau membunuh-untuk-pesanan.

Praktik mengerikan yang mirip plot serial horor Netflix Korea Selatan, Squid Game itu diungkap laporan tim khusus PBB, belum lama ini.

China disebut “memanen” organ hati, ginjal, hati dan kornea dari 100.000 pembangkang dan tahanan secara rahasia setiap tahunnya. Sejauh ini kelompok HAM menilai komunitas internasional tidak berdaya untuk menghentikan pembantaian dengan alasan medis tersebut.

Strong pertama kali menyadari pelanggaran HAM dimaksud akhir tahun 1980-an setelah memulai program transplantasi di RS Princess Alexandra Brisbane.

Profesor Strong berhasil melakukan transplantasi hati pertama di Australia pada tahun 1985 dan setelah itu dibanjiri permintaan pelatihan transplantasi dari 'trainer medis Cina daratan'.

Namun seiring rumor yang menyebut Partai Komunis China menggunakan terpidana mati dan pembangkang politik sebagai “bank organ”, dia memutuskan mengambil tindakan.

”Saya menolak melatih kecuali ada dokumen yang ditandatangani institusi tempat mereka bernaung bahwa mereka tidak akan menggunakan tahanan mati  sebagai donor organ,” tegas Strong.

"Permintaan saya ini tidak pernah dipenuhi, jadi saya menolak untuk menerima permintaan pelatihan."

Keputusan berani Strong yang memiliki karier cemerlang hingga ditunjuk sebagai Pendamping Ordo Australia, St Michael, St George, dan dianugerahi gelar ksatria di Malaysia itu, berbuah reaksi keras dari sejumlah profesional medis lainnya.

“Ini tidak ada hubungannya dengan ras. Ketika di Brisbane saya melatih banyak orang dari Malaysia, Jepang, Eropa bahkan Amerika Serikat,” katanya.

“Saya juga melatih banyak orang China, Australia serta ahli bedah China dari Singapura dan Hong Kong. Tapi  bagi saya menggunakan tahanan sebagai donor organ benar-benar tidak bermoral.”

China pertama kali mulai “membantai” warganya sendiri untuk diambil organ dalamnya pada 1970-an. Kabar  ini mendapat kecaman internasional di tahun 1990-an setelah Human Rights Watch mengakhiri program yang disponsori negara dengan target tahanan tersebut.

Kini menurut PBB, Partai Komunis China menargetkan kelompok minoritas yang tertindas, termasuk praktisi Falun Gong, Uighur, Tibet, muslim dan Kristen.

Demi industri mengerikan bernilai sedikitnya $1 miliar atau setara Rp 14 triliun ini  kelompok hak asasi manusia memperkirakan 60.000 hingga 100.000 orang terbunuh tiap tahunnya.

Meski banyak bukti tersaji, Beijing menyangkal jaringan perdagangan organ  dan menyebut klaim kelompok HAM itu dibuat-buat dan fitnah.

“Rumah sakit dan universitas harus berhenti menerima dan melatih ahli bedah dari China. Tidak hanya untuk transplantasi tapi setiap ahli bedah karena dokter China tahu apa yang terjadi dan mereka menutupi semua ini,” tegas  Strong.

Ia menilai media arus utama gagal mengungkap kekejaman yang terjadi ataupun membuat warga dunia menyadari keberadaan para korban pengambilan organ paksa di China.

China sendiri mengklaim sejak 2015 bahwa tahanan tidak lagi digunakan sebagai bank organ.

“Pemerintah kami sudah memiliki peraturan terkait pengambilan organ dari terpidana mati,” kata seorang pejabat pada tahun 2015.

“Persetujuan tidak sah kecuali persetujuan itu tertulis dari tahanan sendiri dan keluarganya.”

Wendy Rogers, profesor etika klinis di Macquarie University di Sydney yang membantu menulis pedoman sistem donasi organ di Australia pada tahun 2007, mengatakan universitas memiliki peran besar untuk memastikan mereka tidak  membantu praktik tak manusiawi ala Squid Game di China.

Caranya dengan menolak penelitian kolaboratif bersama lembaga Cina mana pun yang mungkin saja menggunakan data untuk tujuan menyimpang.

Tapi saat ini dikatakan Prof Rogers tak ada yang bisa memastikan hal ini.

“Para peneliti di universitas memiliki banyak kebebasan untuk mengembangkan kemitraan dan kolaborasi. Dan jika kemitraan itu menghasilkan uang, maka tentunya imo dianggap baik dari sudut pandang universitas,” katanya.

Namun Wendy mengakui saat ini belum ada banyak pengawasan.

Sementara itu, Profesor Strong memperingatkan sejumlah institusi menempatkan keuntungan di atas HAM.

“Mereka rela membayar biaya tinggi untuk belajar di universitas sehingga semua takut buka suara,” katanya.

Ia melanjutkan, “Ini semua berkaitan dengan uang. Uang dianggap lebih penting dari hak asasi manusia termasuk pelanggaran hak asasi manusia di Cina.”

“Mereka melakukan genosida terhadap orang-orang Uighur dan saya pikir sudah waktunya kita bersuara dan berhenti tunduk pada China.” [pikiranrakyat]

Ikuti kami di channel Whatsapp : https://whatsapp.com/channel/0029VaMoaxz2ZjCvmxyaXn3a | 

Ikuti kami di channel Telegram : https://t.me/kontenislam


Download Konten Islam Di PlayStore https://play.google.com/store/apps/details?id=com.cleova.android.kontenislam

Ikuti Kami Di Goole News : Google News Konten Islam

close