Arab Saudi Buka Suara soal 'Cinta Segitiga' dengan AS-China - KONTENISLAM.COM Berita Terupdate

Arab Saudi Buka Suara soal 'Cinta Segitiga' dengan AS-China



KONTENISLAM.COM - Arab Saudi buka suara soal hubungannya dengan China dan Amerika Serikat (AS).

Pernyataan terkait hal ini disampaikan oleh Menteri Investasi Saudi, Khalid Al Falih, Selasa (23/5/2023).

Baru-baru ini, hubungan Saudi dengan China dan AS terus menerus jadi sorotan. Pasalnya, AS dirasa mulai 'disingkirkan' oleh Negeri Dua Kota Suci itu dan Riyadh terus mendekati China.

Terbaru, China berhasil mendamaikan Riyadh dengan rival kawasannya, Iran. Saudi juga baru-baru ini menerima yuan sebagai mata uang yang dapat digunakan Beijing selain dolar AS, meninggalkan dominasi mata uang Washington di negara itu.

Meski begitu, Falih mengatakan pada hari Selasa bahwa Arab Saudi tidak memberikan prioritas lebih kepada China daripada negara lain.

Ia menegaskan negaranya berencana untuk mempertahankan kemitraan ekonominya dengan China dan juga dengan AS.

"Kami tidak menganggap hubungan kami dengan China sebagai sesuatu yang berbeda dengan hubungan kami dengan negara lain, misalnya Jepang, atau lainnya. Kami berharap dapat mengembangkan kemitraan ekonomi jangka panjang dengan semua (negara)," ujarnya dalam Forum Ekonomi Qatar, dikutip Al Mayadeen, Rabu (24/5/2023).

Al Falih menambahkan bahwa volume perdagangan Arab Saudi dengan China sama dengan gabungan AS dan UE.

Ia menyebut hubungan perdagangan mereka dengan kelompok Barat itu jauh melampaui masalah yang terkait dengan energi.

"Namun, AS tetap menjadi mitra investasi terbesar Arab Saudi dalam kerja sama strategis jangka panjang."

AS dan Arab Saudi sebelumnya memiliki hubungan yang kuat. Namun, sejak Presiden Joe Biden berkuasa, hubungan keduanya diketahui mulai merenggang.

Hal ini disebabkan pernyataan Biden yang beberapa kali menyudutkan Putra Mahkota Saudi, Mohammed Bin Salman (MBS).

Biden menyebut figur tersebut sebagai dalang dari pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi dan sempat menyatakan kerajaan itu sebagai pariah.

Tak lama setelahnya, Saudi mulai menunjukan manuver yang tidak selaras dengan Washington.

Ini dibuktikan oleh tidak tunduknya Riyadh kepada permintaan AS yang menginginkan agar negara itu menambah produksi minyak untuk menanggulangi harga energi yang memuncak pasca perang Rusia-Ukraina.

Heboh AS Terancam 'Bangkrut', China Bisa Ketiban Pulung

Kondisi keuangan Amerika Serikat (AS) yang masih terancam mengalami gagal bayar dapat menjadi sesuatu yang serius bagi rivalnya, China.

Pasalnya, Negeri Tirai Bambu dapat terkena dampak negatif dari segi keuangan dan juga perdagangan.

Kepemilikan China dalam komposisi utang AS berada di angka US$ 869,3 miliar atau setara Rp 12.950 triliun (kurs Rp 14.902). Ini merupakan 11% dari total utang asing Washington.

Pasar sekuritas AS menopang sistem keuangan global. Default di mana AS tidak dapat menyelesaikan satu atau lebih pembayaran utang yang belum dibayar akan meningkatkan risiko investasi, yang akan memicu kenaikan suku bunga dan melemahkan dolar AS, mata uang dominan dunia.

Jika krisis keuangan AS seperti pada pada 2007-2008 terjadi, ekonomi China dapat menderita akibat anjloknya permintaan global untuk sektor manufakturnya. Skenario terburuk menempatkan puluhan juta pekerjaan dalam risiko.

"Kegagalan bayar AS akan menjadi kejutan negatif yang sangat besar bagi AS dan ekonomi global. Dampak negatif terhadap China kemungkinan besar terjadi melalui dua saluran yang terkait tetapi berbeda: pasar keuangan dan perdagangan," kata Guonan Ma, rekan senior di Asia Institut Kebijakan Masyarakat kepada Newsweek, dikutip Rabu (24/5/2023).

Ma menambahkan bahwa gejolak keuangan mengurangi kepercayaan investor secara umum, termasuk investor China.

Mengingat bahwa porsi kepemilikan Beijing dalam utang AS, China akan merasa sangat tidak nyaman untuk menambah kepemilikannya.

"Kegagalan kemungkinan akan menjerumuskan AS dan pasar keuangan global ke dalam kekacauan, karena Departemen Keuangan AS adalah landasan dari pasar ini dan sistem keuangan yang lebih luas."

"Hal ini akan meningkatkan ketidakpastian dan meredam sentimen bisnis dan konsumen, yang pada gilirannya akan merugikan aktivitas perdagangan dua arah," tambahnya.

Meski begitu, situasi ini dapat mendorong China untuk terus meninggalkan dependensinya pada dolar AS dalam jangka panjang.

Pada Desember lalu, Presiden China Xi Jinping mengatakan negaranya akan segera menggunakan yuan untuk pembelian minyak dan gas dari Timur Tengah.

"Dalam jangka panjang, China mungkin bertujuan untuk memangkas eksposurnya ke Departemen Keuangan AS dan aset dolar secara umum," ujarnya lagi. [cnbc]

Ikuti kami di channel Whatsapp : https://whatsapp.com/channel/0029VaMoaxz2ZjCvmxyaXn3a | 

Ikuti kami di channel Telegram : https://t.me/kontenislam


Download Konten Islam Di PlayStore https://play.google.com/store/apps/details?id=com.cleova.android.kontenislam

Ikuti Kami Di Goole News : Google News Konten Islam

close