
KONTENISLAM.COM - Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.*
*Penulis Lepas Yogyakarta
Jika ada yang mengharapkan atau mencari dunia adalah tujuan hidupnya maka ia termasuk, sebab tidak ada kebaikan dunia sebanding akhirat, seperti surga, bertemu Allah serta kenikmatan lain yang dapat juga dirasakan selama masih hidup di dunia. Namun yang paling tinggi dalam pencapaian kebahagiaan manusia sepanjang catatan sejarah kehidupan di dunia adalah Allah itu sendiri.
Allah sendiri mengatakan di dalam al-Qur’an Surat an-Nisaa’ 134
مَّن كَانَ يُرِيدُ ثَوَابَ ٱلدُّنْيَا فَعِندَ ٱللَّهِ ثَوَابُ ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةِ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعًۢا بَصِيرًا
Artinya: “Barang siapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Kementerian Arab Saudi melalui karya tafsir al-Muyassar mengemukakan tafsir terhadap ayat ini, “barang siapa dari kalian (wahai sekalian manusia), lebih suka terhadap pembalasan dunia dan berpaling dari kampung akhirat, maka disisi Allah saja balasan di dunia dan akhirat. Karena itu, maka hendaklah dia memohon dari Allah saja kebaikan dunia dan akhirat. Dialah Dzat yang memiliki keduanya. Dan Allah maha mendengar seluruh ucapan hamba-hambaNya, Maha Melihat seluruh niat-niat dan tindak-tanduk mereka, dan Allah akan memberikan balasan kepada mereka sesuai dengan perbuatan mereka.
Hal ini terkonfirmasi dalam pandangan para sufi dalam literatur-literatur tasawwuf atau mistisisme Islam. Perjalanan yang diistilahkan dengan spiritual, para sufi adalah pengenalan ketuhanan secara hakikat. Perjalanan menuju tuhan berupa ketersingkapan-ketersingkapan ketidaktahuan manusia berpuncak pada pengenalan tuhan secara sesungguhnya.
Argumentasi logis yang terbangun di halangan para filsuf sebenarnya adalah sama, yaitu mencari hakikat kehidupan, baik dunia, ataupun proses dalam menjalani kehidupan di dalamnya (eksistensi). Muara pemikiran yang terbangun juga mengarah kepada asasi dari kehidupan ini yang ditempuh melalui olah pikir, refleksi, kontemplasi sehingga lahir karya-karya bercorak pemikiran yang sistematis, holistik, dan komprehensif dan dinamakan karya Filsafat atau Filsafat itu sendiri.
Lantas, apa jadinya bagi mereka yang terlanjur punya cita-cita tinggi khas keduniaan, belum lagi mereka yang berusaha untuk menunjukkan kebahagiaan atas apa yang mereka miliki berupa harta dan keluarga? Secara spesifik jawabannya tentu subjektif berdasarkan perorangan/pelaku.
Namun jika boleh jujur, berdasar penelitian, sains, melalui berbagai lembaga ataupun ilmuwan independen merealease hasil studi, bahwa para pelaku, istilahkanlah “flexing” tersebut misalnya justru tidak bahagia sebagaimana yang ditampakkan. Usaha menunjukkan adalah bukti bahwa terdapat latar belakang yang dapat bersifat beda dengan kenyataan/tampilan yang ada. Dikatakan bahwa mereka justru mengalami persoalan kejiwaan, artinya bisa jadi persoalan tersebut dapat menjadi semacam ada masalah yang sedang dihadapi. Jika demikian, kemungkinan para pelaku “fleksing” justru dalam keadaan sebaliknya, sedang mengalami masalah dan sebaiknya segera disadarkan akan kondisinya. Sebab, permasalahan kejiwaan dapat berakibat dampak buruk yang luas maka hendaknya segera untuk dituntaskan.
Kembali kepada pemetaan di atas; jika orang menginginkan dunia maka ia akan mendapatkan yang ia
cari yaitu sebatas dunia yang telah ditetapkan Allah, jika seorang mencari akhirat maka itu melebihinya. Namun, perlu diingat Allah lah pemilik dan penguasa keduanya dan menjadikan Ia jauh atau tidak sebanding dengan keduanya bahkan sekedar dijadikan tujuan.
Maka apa pun yang dituju, sejatinya Allah adalah muara atau kembalinya segala urusan. Sebagaimana telah jelas dalam Firman Allah berupa al-Qur'an Surat al-Israa' ayat 18 dan 19 berikut artinya: "man kaana yuriidu al’aajilata ‘ajjalnaa lahu fiihaa maa nasyaau liman nuriidu tsumma ja’alnaa lahu jahannama yashlaahaa madzmuuman madhuuraan” (18) dalam bahasa Indonesia yaitu “Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahanam; dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” “waman araada al-aakhirata wasa’aa lahaa sa’yahaa wahuwa mu/minun faulaa-ika kaana sa’yuhum masykuuraan” (19) artinya “Dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik." "Shodaqallah."