KONTENISLAM.COM - Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.*
*Penulis Lepas Yogyakarta
Apa yang diusahakan merupakan bagian perwujudan keinginan. Usaha besar dimiliki orang yang punya keinginan (‘azm) yang kuat, kokoh dan tidak sekedarnya. Manifestasi hasil yang maksimal bukan hanya tanpa sebab; keinginan, usaha berikut kerja keras mengiringi kesuksesan seiring kesungguhan.
Namun pada kenyataannya tidak jarang apa yang menjadi kenyataan tidak berkesesuaian dengan keinginan. Tidak jarang apa yang diusahakan membawa hasil yang berbeda dengan rencana awal. Usaha yang maksimal yang dilakukan tidak lepas dari kealfaan, sehingga tidak sedikit hal yang diinginkan luput dari genggaman.
Idealnya rencana sesuai dengan yang diinginkan, apa yang diinginkan, diusahakan untuk kemudian menjadi kenyataan. Pada kenyataannya, tidak sedikit usaha yang ditagih untuk mewujudkannya, tidak kunjung terwujud juga lantaran luput dari genggaman.
Demikian kenyataan yang banyak dihadapi anak manusia dalam meniti hidup di dunia ini. Tidak jarang banyak hal dirasa membuat kecewa. Tidak jarang tantangan berat hadir menjelma kegagalan yang merenggut segala angan-angan yang dibangun, yang bangkit dari sisi tertentu kehidupan. Kenyataan menjadi kehidupan yang sulit untuk ditaklukkan. Kemudian dimana Tuhan? Pertanyaan yang kiranya tidak menjadikan kita lupa siapa manusia sebenarnya.
Pada kenyataan, sepanjang kisah tokoh dalam kajian pemikiran dan peradaban manusia yang berusaha mencari makna kebenaran, namun jauh dari makna kebenaran itu sendiri. Tidak jarang pertanyaan yang menjadi titik awal dari keseluruhan proses berpikir tentang Tuhan, bermuara pada penyimpangan. Seolah telah menemukan titik balik, si Filsuf atau pemikir tersebut meninggalkan semangat yang sejak pertama bertengger di gerbangnya, yaitu pada titik awal berupa pertanyaan tentang Tuhan, kemudian berbelok seolah menyerangnya secara ide. Tidak jarang kemudian secara serampangan dikatakan mereka mengaku diri ateis.
Dikatakan dalam al-Qur’an : (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (al-Hadid: 23)
Kemudian pada Qur’an Surat al-Hajj Ayat 3 Allah mengingatkan,
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يُجَٰدِلُ فِى ٱللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطَٰنٍ مَّرِيدٍ
Artinya: Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang jahat.
Ustadz Marwan Hadidi dalam karyanya Hidayatul Insan bi Tafsiiril Qur’an menafsirkan ayat ini yakni antara manusia ada yang menempuh jalan yang sesat, tidak hanya itu, bahkan sampai mendebat yang hak dengan kebatilan untuk membenarkan yang batil dan menyalahkan yang hak, padahal sesungguhnya mereka berada dalam kebodohan yang sangat, pegangan mereka tidak lain taqlid (ikut-ikutan) kepada pemimpin mereka yang sesat, yaitu setiap setan yang jahat dan durhaka, yang menentang Allah dan Rasul-Nya.
Tidak terburu-buru menyalahkan keadaan, baik diri sendiri ataupun lingkungan, juga tidak menuntut tuhan bahkan lupa adab seorang hamba untuk meminta kepada yang memiliki dirinya. Bahkan seolah menjadi makhluk tidak berakhlak, berani berkata dan berperilaku di luar nalar manusia.
Maka bersikap bijak menjadi penting. Senantiasa mencari kebaikan dunia tidak dapat disalahkan. Mendahalukan akhirat atas dunia lebih mendekatkan dan lebih utama di sisi Allah. Maka mengaharapkan kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat adalah kebenaran untuk diminta, dengan senantiasa menyembahkNya hingga ajal menjelang. Sebagaimana Firman Allah dalam Q. S. al-Hijr Ayat 99 yang berbunyi “dan sembahlah Tuhanmu (Allah) hingga datang kepadamu yakin (ajal) mengingatkan kita akan perintah untuk senantiasa menyembahNya secara konsisten dan bukan yang lain, hingga datang waktu berupa ajal atau kematian menjelang.