CARA POLISI TEKAN PERLAWANAN WARGA REMPANG: 34 Warga Ditetapkan Tersangka Kerusuhan
Daftar Isi
KONTENISLAM.COM - Cara Polisi Tekan Perlawanan Warga Rempang
Polisi menetapkan 34 tersangka karena dianggap memprovokasi warga Rempang.
Satu per satu warga Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, ditetapkan sebagai tersangka. Kini Kepolisian Daerah Kepulauan Riau sudah menetapkan 34 warga setempat sebagai tersangka dengan sangkaan menjadi provokator aksi menentang pengembangan kawasan Rempang Eco-City.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Boy Jerry Even Sembiring, mengatakan pihaknya mendapat informasi bahwa polisi menangkap 43 warga Rempang yang berunjuk rasa menentang Rempang Eco-City, Senin, 11 September lalu. Kemudian, dari 43 warga itu, kepolisian menetapkan 34 orang sebagai tersangka.
Namun, kata Boy, Koalisi Solidaritas Nasional untuk Rempang—gabungan sejumlah lembaga masyarakat sipil, termasuk Walhi Riau—pihaknya hanya bisa mengakses tujuh dari 34 tersangka tersebut. Koalisi lantas memberikan bantuan hukum kepada ketujuh orang itu.
Ia menganggap kepolisian menutup akses para tersangka untuk mendapat bantuan hukum. Padahal, sesuai dengan hukum acara pidana, seseorang yang berstatus tersangka berhak mendapat pendampingan atau bantuan hukum. "Seharusnya polisi membuka akses untuk keluarga dan tim advokasi untuk mendampingi," kata Boy, Rabu, 13 September 2023.
Boy juga menyayangkan sikap kepolisian yang terkesan mencari-cari kesalahan para penentang Rempang Eco-City. Misalnya, kepolisian menyoal alamat para tersangka yang bukan warga Pulau Rempang. Padahal para tersangka berunjuk rasa sebagai bentuk solidaritas atas agenda pemerintah daerah menggusur warga Pulau Rempang.
Menurut dia, demonstrasi menentang pengembangan Rempang Eco-City yang berasal dari berbagai daerah pada Senin lalu itu justru menunjukkan kesolidan masyarakat Melayu. "Demonstrasi merupakan hak asasi manusia yang dilindungi konstitusi," ujar Boy.
Senin lalu, seribuan warga Pulau Rempang berunjuk rasa di depan kantor Badan Pengusahaan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam. Demonstrasi ini merupakan reaksi atas tindakan pemerintah daerah bersama pasukan gabungan TNI-Polri yang memaksa memasang patok tata batas Rempang Eco-City, Kamis pekan lalu. Polisi bertindak represif sehingga mengakibatkan puluhan warga terluka. Polisi menangkap beberapa orang, lalu menetapkan delapan di antaranya sebagai tersangka.
Adapun unjuk rasa di depan kantor BP Batam pada Senin lalu itu berujung kericuhan. Demonstran melempari kantor BP Batam serta polisi yang berjaga dengan botol air dan batu.
Rempang Eco-city merupakan perpaduan kawasan industri, perdagangan, dan wisata. Program strategis nasional 2023 seluas 17 ribu hektare di Pulau Rempang ini akan digarap PT Makmur Elok Graha (MEG). Pengembangan kawasan ditargetkan mampu menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada 2080.
Agenda pengembangan Rempang Eco-city disertai dengan penggusuran penduduk Rempang yang mencapai 10 ribu jiwa. Mereka mendiami 16 kampung adat di Pulau Rempang sejak 1834. Padahal kajian tim memorandum of understanding BP Batam, Pemerintah Kepulauan Riau, dan PT MEG merekomendasikan untuk tetap mempertahankan perkampungan tua di Rempang serta pulau-pulau di sekitarnya.
Kepala Bidang Humas Polda Kepulauan Riau, Komisaris Besar Zahwani Pandra Arsyad, berdalih bahwa demonstran yang ditangkap polisi itu berperan sebagai provokator di lapangan. Mereka dianggap memprovokasi pengunjuk rasa untuk menyerang polisi yang berjaga di kantor BP Batam. "Mereka juga bukan asli dari Rempang, hanya ikut-ikutan ajakan di media sosial," kata Zahwani.
Ia mengatakan kepolisian sudah menyiapkan langkah mitigasi ketika ada demonstrasi lanjutan. Salah satu langkah mitigasi itu adalah menggelar patroli siber.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Julius Ibrani, menyayangkan tindakan polisi di lapangan yang cenderung represif terhadap masyarakat yang menentang Rempang Eco-City. "Seharusnya polisi tidak menangkap dan mengkriminalkan, melainkan melindungi warga," kata dia.
Julius berharap kepolisian bertugas sebagai mediator antara masyarakat dan BP Batam. Kepolisian juga dapat meminta ke BP Batam menghentikan sementara pemasangan patok tata batas Rempang Eco-City. "Jangan hanya meminta masyarakat untuk menjaga kondusivitas, sementara tanah mereka akan dipatok," ujarnya.
Berlanjut di Tengah Penolakan
Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, mengatakan pihaknya tengah mengejar target untuk menuntaskan relokasi empat perkampungan di Rempang. Mereka bermukim di area seluas 2.000 hektare. Area itu nantinya menjadi sasaran investasi Xinyi Group, investor dari Cina.
Penduduk di empat perkampungan tersebut bakal direlokasi ke Dapur 3 Sijantung. Rudi mengatakan sebanyak 700 keluarga di empat perkampungan ini akan direlokasi paling lambat pada 28 September mendatang. "Itulah tugas kami untuk menyelesaikannya," kata Rudi di kompleks gedung DPR, kemarin.
Wali Kota Batam itu beralasan bahwa pemerintah harus merelokasi warga Rempang untuk menghindari risiko kesehatan ketika perusahaan mulai mengolah pasir silika di Rempang Eco-City. "Kalau mereka tinggal di situ, kan berisiko," katanya. "Yang penting, kami akan berusaha bagaimana investasi masuk, rakyat bisa menerima dengan baik."
Juru bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan Rempang-Galang, Suardi, mengatakan pihaknya tidak menolak pembangunan Rempang Eco-City. Tapi mereka menolak rencana pemda menggusur penduduk yang bermukim di 16 kampung tua di Rempang.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi, menganggap pengembangan kawasan Rempang Eco-City sarat masalah. Sebagai contoh, DPR memproyeksikan proyek strategis nasional itu baru disahkan pada 28 Agustus lalu. "Proyek ini tidak pernah dikonsultasikan secara bermakna kepada masyarakat Rempang yang akan terkena dampak," kata Zenzi.
Ketua Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Zainal Arifin, menyebutkan sejumlah catatan serius dalam pembangunan Rempang Eco-City. Catatan itu antara lain tidak adanya kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), tak ada peruntukan ruang dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW), serta belum ada pelepasan status kawasan hutan dari Kementerian Lingkunan Hidup dan Ketuhanan. "Dalam pembangunan Rempang Eco-City, dapat dipastikan banyak kecacatan prosedur serta persoalan lingkungan hidup," kata Zainal.
[Sumber: Koran Tempo, Kamis, 14 September 2023]