Pakar HTN Zainal Arifin Mochtar Dukung Hak Angket DPR untuk Menghukum Presiden Jokowi

Daftar Isi



KONTENISLAM.COM
Wacana penggunaan hak angket DPR yang digulirkan partai-partai pendukung capres-cawapres nomor urut 1 Anies-Muhaimin dan nomor urut 3 Ganjar-Mahfud terus menuai dukungan dari masyarakat terutama kalangan pakar hukum, termasuk Zainal Arifin Mochtar.

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) ini mendukung DPR menggunakan hak angket untuk menyelidiki berbagai dugaan kecurangan pada Pemilu 2024 ini sebagai bentuk penghukuman kepada Presiden Joko Widodo.

“Di titik itu saya kira saya setuju dengan angket. Harus ada ‘jeweran’ terhadap kekuasaan yang kemudian membiarkan atau sengaja menggunakan kuasanya untuk merusak demokrasi,” jelasnya dalam podcast di kanal YouTube @mojokdotco dikutip Selasa, 27 Februari 2024.

“Demokrasi kan dibawa terlalu bergeser nih. Menurut saya itu harus dikembalikan. Bahwa kembali lurus betul, belum tentu. Tapi paling tidak, istilahnya ‘velg’-nya itu bisa dibuat sedikit lebih lurus,” sambungnya.

Karena menurutnya berbagai persoalan yang muncul pada gelaran pesta demokrasi ini tidak lepas dari Jokowi. 

Minimal, kepala negara itu melakukan pembiaran terhadap para pejabat yang menjadi bawahannya untuk melakukannya.

Misalnya politisasi bantuan sosial untuk kepentingan pemenangan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, yang berpasangan dengan Prabowo Subianto. 

“Makanya saya bilang, pelanggaran Jokowi bukan hanya sekadar, apakah dia melakukan itu (kecurangan). Bisa jadi dia tidak melakukan, dia tidak pernah kampanye untuk mengatakan ‘ini (bansos) dari saya ya, tolong pilih anak saya’,” ungkapnya.

“Tapi ketika dia membiarkan menteri-menteri melakukan itu (politisasi bansos), itu namanya crimes by omission. Dia melakukan pembiaran, itu salah,” kata salah satu pemeran film dokumenter eksplanatory “Dirty Vote” yang mengungkap berbagai modus kecurangan Pemilu 2024.

Meski demikian, penghukuman yang dia maksud bukan berarti menjatuhkan Jokowi dari kursi presiden. 

Dia menegaskan itu soal lain. Namun, penegasan bahwa Jokowi telah melakukan kesalahan ini perlu sehingga kejadian serupa tidak terulang pada pemilu-pemilu berikutnya.

“Karena ini akan jadi kebiasaan baru kalau enggak ada yang tegur. Orang akan menggunakannya di 2029 dengan tanpa merasa berdosa. Karena enggak ada yang negur. Angket itu adalah cara untuk menegur jangan ulangi ini 2029 dan tahun-tahun berikutnya kalau itu (angket) dilakukan,” ucapnya.

Apalagi, katanya menambahkan, bukan hal sederhana untuk menjatuhkan seorang presiden. 

“HMP (hak menyatakan pendapat) saja (harus mendapat persetujuan) 2/3 dari anggota DPR. Kalau koalisinya 01, 03 digabung kan cuma 50-an persen,” ucapnya.

Sementara kalau ada yang ingin membawa berbagai kecurangan itu ke Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan untuk mengubah hasil pemilu kalau bisa dibuktikan, dia mempersilakan para pihak terkait untuk melakukannya. 

“Yang menjadi pemohon (ke MK) itu kan pasangan calon kalau pilpres. Kalau pemilu legislatif (pemohonnya adalah) partai. Silakan itu urusannya dan itu berkaitan dengan perebutan kuasa atau elektoral yang memang mau dimau dikerjakan. Itu urusan lain,” tandasnya.

Sebagaimana diketahui kalau untuk mengajukan hak angket, partai pengusung AMIN (NasDem, PKB, PKS) dan Ganjar-Mahfud MD (PDIP, PPP) diyakini akan mudah untuk merealisasikannya. Karena mereka menguasai lebih dari separuh kursi DPR RI yaitu 54,6 persen.

Karena untuk menggunakan hak angket termasuk persetujuan atas hasil angket tersebut, hanya perlu dihadiri lebih dari 1/2 anggota DPR dan mendapat persetujuan dari 1/2 anggota yang hadir.

Sementara untuk menggunakan hak menyatakan pendapat sebagai tindak lanjut hak angket yang menjadi celah untuk memakzulkan presiden, prosesnya lebih berat. 

Mengingat usul HMP harus diputuskan dalam sidang paripurna yang dihadiri 2/3 anggota DPR dan keputusan yang diambil harus mendapat persetujuan paling sedikit 2/3 jumlah anggota DPR yang hadir.

Belum lagi, hak menyatakan pendapat ini juga masih melibatkan lembaga lain, seperti MK yang akan mengadili apakah presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak.

Kalau dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran hukum, keputusan itu masih akan dibawa ke sidang Paripurna MPR yang harus dihadiri minimal 3/4 dari jumlah anggota. Sementara pemberhentian harus mendapat persetujuan minimal 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir.
SumberKBANews

Ikuti kami di channel Whatsapp : https://whatsapp.com/channel/0029VaMoaxz2ZjCvmxyaXn3a | 

Ikuti kami di channel Telegram : https://t.me/kontenislam


Download Konten Islam Di PlayStore https://play.google.com/store/apps/details?id=com.cleova.android.kontenislam

Ikuti Kami Di Goole News : Google News Konten Islam

close