Membaca Kegagalan PPP di Pemilu 2024

Membaca Kegagalan PPP di Pemilu 2024


KONTENISLAM.COM - KPU RI sudah menetapkan hasil akhir suara partai hasil Pemilu 2024. Terdapat 8 partai politik yang lolos ambang batas parlemen (parliamentary treshold) dengan perolehan yang beragam.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak termasuk di dalamnya. Suara PPP hanya 3,87 persen atau kurang dari 4 persen ambang batas minimal.

Suara PPP yang minim ini mengejutkan banyak pihak terutama umat Islam. Terlebih, PPP adalah partai berpengalaman matang yang sudah 12 kali ikut Pemilu sejak 1973.

Perolehan suara PPP membuka mata bahwa faktor senioritas dan pengalaman ternyata tidak menjamin eksistensi partai untuk bertahan di Senayan. Tidak juga keterlibatan tokoh-tokoh nasional sebagai penjaga gawang partai berlogo Ka’bah ini.

Meski demikian, gejala bakal tersingkirnya PPP sudah terlihat sebelum Pemilu digelar. Dari 9 partai yang eksis hasil Pemilu 2019, terdapat dua partai sering muncul dalam survey yang perolehannya di bawah 4 persen yakni PPP dan PAN.

Beberapa lembaga survey seperti Republic Institute, LSI, Poltracking dan SMRC menempatkan keduanya di posisi terbawah. Prediksi terhadap PPP tepat namun PAN meleset.

Beberapa aspek yang dapat dicermati dari kegagalan PPP menembus parlemen dapat dilihat dari fenomena internal maupun eksternal.

Beberapa kejadian justru kontra produktif dengan upaya PPP untuk mengembalikan citra partai Islam yang masih cukup layak bertengger di Senayan.

Di tingkat internal, ‘keseleo lidah’ ketua umum Suharso Monoarfa di pertengahan tahun 2022 yang dikenal dengan ‘amplop kyai’ memicu protes dari kalangan internal yang merasa tidak terima atas pernyataannya.

Beberapa organ di PPP maupun simpatisan marah atas pernyataan tersebut karena dianggap menghina dan melecehkan posisi kyai yang sangat dihormati.

Kasus ‘amplop kyai’ tersebut memicu terjadinya gejolak yang berakhir pergantian ketua umum di tengah jalan. Publik terutama pesantren yang selalu menjadi penyokong suara PPP terlanjur tersakiti.

Penunjukan secara cepat Muhammad Mardiono sebagai Plt Ketua Umum tidak sepenuhnya dapat mengatrol coreng PPP di mata publik.

Apalagi, latar belakang Mardiono sebagai pengusaha bertolak belakang dengan kebiasaan PPP yang menentukan pimpinan partai dari kalangan pesantren atau berkecimpung lama dengan NU.

Upaya partai untuk merangkul  kembali Romahurmuziy sebagai penguat partai tidak banyak membantu menaikkan citra dan elektabilitas.

Kehadirannya justru menimbulkan persepsi kurang baik atas posisinya yang pernah dipenjara karena kasus korupsi saat menjadi ketua umum PPP.

Partai terlalu cepat menampilkan Romi–sapaan akrab Romahurmuziy–di ruang publik di saat ingatan masyarakat masih cukup kuat pada peristiwa operasi tangkap tangan (OTT) di Surabaya tahun 2019.

Dalam peristiwa tersebut, Romi diringkus oleh KPK dalam kasus jual beli jabatan. Kehadiran kembali Romi yang terlalu cepat tidak banyak membantu bahkan sebaliknya merugikan partai.

Begitu pula masuknya pendatang baru Sandiaga Uno pada bulan Juni 2023 atau tujuh bulan sebelum Pemilu di jajaran elit partai juga tidak banyak membantu.

Persepsi publik tentang Sandi sebagai Wakil Ketua Pembina Partai Gerindra belum sepenuhnya hilang.

Apalagi pada saat yang bersamaan, PPP berhadap-hadapan dengan Prabowo Subianto yang tahun 2019 menggandeng Sandi sebagai cawapresnya. Nalar publik tidak mudah menerima realitas tersebut.

Apalagi sejak awal Sandi mengincar posisi Cawapres dari Ganjar Pranowo. Meskipun pada akhirnya kalah bersaing dengan Mahfud MD.

Karena itu, kegagalan PPP di Pemilu 2024 dapat dilihat dari kacamata tersebut. Faktor keseleo lidah tentang amplop kiai dan pilihan strategi marketing politik menjadi domain yang ikut memperburuk persepsi publik dan elektoral partai.

Di luar itu, keputusan cepat partai bergabung dalam koalisi Ganjar-Mahfud MD yang diusung PDIP menjadi pertanyaan publik.

Secara politis PPP pernah menjadi bagian pengusung Prabowo Subianto pada Pilpres 2014 dan berlanjut pada Pilpres 2019.

Meskipun akhirnya partai menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi, namun saat sebelum Pilpres, PPP menjadi partai yang berlawanan dengan PDIP.

Melihat dari latar belakang ideologi, PPP yang bercorak partai Islami (islamist party) menurut kategori Pepinsky, et. al. (2008) secara cepat bergandeng tangan dengan PDIP yang bercorak nasionalis-sekuler merupakan praktik di luar kebiasaan.

Dalam catatan pasca Reformasi 1998, partai Islami seperti PKS, PBB dan PPP sangat berhati-hati dalam membangun koalisi dengan partai nasionalis-sekuler.

Kalaupun terjadi, hal tersebut murni karena pertimbangan politik pragmatis (office seeking—istilah lain untuk mencari jabatan—menurut Riker;1970) yang terjadi setelah Pilpres bukan sebelum, apalagi jauh sebelum Pilpres terjadi.

Pertimbangan tersebut dilakukan untuk menjaga hubungan partai dengan konstituen sekaligus sebagai bentuk pertanggung jawaban atas posisi ideologi dengan partai lain yang memiliki platform berseberangan.

Pembacaan atas kegagalan tersebut masih bisa dibantah karena banyak variabel yang selalu menyertai dalam Pemilu terutama faktor kesiapan logistik, kemampuan Caleg, dan keterbatasan jaringan.

Namun dalam kasus PPP, beberapa pertimbangan di atas dapat dijadikan referensi dalam menyusun strategi di Pemilu 2029 nanti agar kembali bersaing di Senayan. Karena partai-partai Islam seperti PKB, PAN dan PKS juga menyusun strategi lain untuk mengambil alih suara PPP yang hangus di Pemilu 2024.

Sumber:
HarianDisway

Ikuti kami di channel Whatsapp : https://whatsapp.com/channel/0029VaMoaxz2ZjCvmxyaXn3a | 

Ikuti kami di channel Telegram : https://t.me/kontenislam


Download Konten Islam Di PlayStore https://play.google.com/store/apps/details?id=com.cleova.android.kontenislam

Ikuti Kami Di Goole News : Google News Konten Islam

close