Jalan Terjal Gerakan Petisi 50 Menentang Rezim Soeharto

Daftar Isi
https: img.okezone.com content 2024 05 04 337 3004404 jalan-terjal-gerakan-petisi-50-menentang-rezim-soeharto-KC35A7TfPX.jpg

KONTENISLAM.COM - Pada 1980, pernyataan Presiden Soeharto yang mendesak ABRI untuk mendukung Golkar dalam pemilihan umum dan ajakan untuk persatuan antara ABRI dan Golkar demi menjaga Pancasila, memecah belah internal militer.

Meskipun banyak yang menyetujui rencana Dwifungsi ABRI yang diajukan oleh Soeharto, sejumlah kalangan senior menentangnya.

Ketegangan semakin meningkat ketika Soeharto dengan tegas menyatakan, "Mengkritik saya adalah sama dengan mengkritik Pancasila," di Markas Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha), Cijantung, pada 16 April 1980.

Ancaman Soeharto yang mengindikasikan kemungkinan penculikan anggota MPR yang akan melakukan perubahan UUD 1945 juga menimbulkan kegelisahan di kalangan perwira senior.

Sebagai respons terhadap kekhawatiran ini, pada tanggal 5 Mei 1980, 50 tokoh nasional berkumpul dan menandatangani surat protes, yang kemudian dibacakan di hadapan anggota DPR-RI.

Surat tersebut, yang dikenal sebagai Petisi 50, dengan tegas mengecam Soeharto karena dianggap telah menyalahgunakan Pancasila.

Hoegeng Imam Santoso adalah salah satu tokoh yang turut serta dalam kelompok Petisi 50.

Namun, keikutsertaannya dalam kelompok tersebut mempengaruhi hubungan pribadinya dengan Dharto, yang mengepalai Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan. Meskipun demikian, Dharto tetap menghargai pilihan politik Hoegeng.

Hal tersebut sebagaimana dituangkan Dalam buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan, karya Suhartono.

Selain Hoegeng, ada juga beberapa tokoh-tokoh nasional lainnya, seperti Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, S.K. Trimurti, M. Jasin, A.H. Nasution, Syafruddin Prawiranegara, Ali Sadikin, dan deretan sosok besar lainnya.

Pada 5 Juli 1980, kelompok Petisi 50 mengeluarkan pernyataan yang menyoroti sejumlah masalah politik, ekonomi, dan keamanan di bawah kepemimpinan Soeharto.

Tindakan ini menciptakan gejolak dalam politik Indonesia, dengan 19 anggota DPR memanfaatkan Hak Mengajukan Pertanyaan untuk pertama kalinya kepada Soeharto pada tanggal 14 Juli 1980.
 
Pertanyaan pertama ialah ‘Apakah Presiden setuju bahwa ungkapan keprihatinan itu berisikan masalah penting?’, kemudian yang kedua, ‘Apakah rakyat Indonesia patut mendapat penjelasan yang menyeluruh dan terperinci mengenai masalah-masalah yang diangkat?”.

Pada 1 Agustus 1980, Soeharto menyampaikan jawabannya melalui Ketua DPR, Daryatmo.

Ia menuliskan, bahwa dirinya yakin para anggota DPR sudah berpengalaman dan akan memahami makna dari pidatonya tersebut.

Tetapi, jika mereka masih belum puas, Soeharto mengusulkan agar para anggota DPR mengajukan pertanyaan-pertanyaan mereka kepada para anggota dari Komisi-Komisi DPR terkait.

Respons pemerintah terhadap Petisi 50 tidak sesuai harapan. Soeharto menolak pandangan kelompok tersebut dan bahkan mengkritik cara mereka, serta menganggap mereka tidak layak menyebut diri sebagai patriot.

Dampaknya, para tokoh yang terlibat dalam Petisi 50 diboikot oleh pemerintah, dilarang berpartisipasi dalam kehidupan politik dan ekonomi, bahkan dilarang bepergian ke luar negeri.

Akhirnya, Petisi 50 tidak mencapai tujuannya, dan Pancasila tetap diakui sebagai asas tunggal.

Sumber: 
Okezone

Ikuti kami di channel Whatsapp : https://whatsapp.com/channel/0029VaMoaxz2ZjCvmxyaXn3a | 

Ikuti kami di channel Telegram : https://t.me/kontenislam


Download Konten Islam Di PlayStore https://play.google.com/store/apps/details?id=com.cleova.android.kontenislam

Ikuti Kami Di Goole News : Google News Konten Islam

close