Pemberantasan Korupsi Melemah Era Jokowi

Daftar Isi

KONTENISLAM.COM - Agenda pemberantasan korupsi periode kedua Jokowi dinilai semakin amburadul. Indeks persepsi korupsi Indonesia kembali ke titik nol.

Sejumlah lembaga antikorupsi memberi catatan khusus terkait kian terpuruknya agenda pemberantasan korupsi pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Menjelang akhir masa jabatannya, Jokowi dinilai telah membawa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia kembali ke titik nol. Situasi itu tergambar dari indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang mengalami stagnasi dengan skor 34 pada 2022-2023.

“Dulu, waktu Pak Jokowi baru menjabat itu, skor IPK ada di angka 34, dan hari ini kembali pada skor tersebut,” tutur peneliti Transparency International Indonesia (TII) Izza Akbarani kepada detikX pekan lalu.

Catatan serupa diberikan Indonesia Corruption Watch dalam laporan hasil pemantauan tren korupsi 2023 yang dirilis pekan lalu. Riset itu menunjukkan jumlah kasus korupsi terus meningkat setiap tahun sejak periode kedua Jokowi. Jumlahnya melonjak nyaris tiga kali lipat dari hanya 271 kasus pada 2019 menjadi 791 kasus pada 2023.

Potensi nilai kerugian negara dari kasus-kasus ini juga ikut melambung. Dari hanya Rp 8,4 triliun pada 2019 menjadi Rp 28,4 triliun pada 2023. Bahkan pernah mencapai Rp 42,7 triliun pada 2022.

Peneliti ICW Diky Anindya mengatakan amburadulnya tren pemberantasan korupsi ini tidak lepas dari tumpulnya keberanian negara memberikan hukuman berat kepada koruptor. Itu terlihat data tren vonis bagi para koruptor pada 2020-2022, yang hanya dihukum rata-rata 37-41 bulan atau maksimal 3 tahun 4 bulan.

Negara, lanjut Diky, juga masih tidak punya taring untuk memiskinkan para koruptor. Terlihat dari perbandingan hasil vonis kerugian negara dengan nilai uang yang bisa dikembalikan pada 2020-2022.

Pada 2020, dari total Rp 56,7 triliun kerugian negara, yang bisa dikembalikan hanya Rp 19,6 triliun. Lalu pada 2021, dari Rp 62,9 triliun, pengembalian hanya Rp 1,4 triliun. Kemudian pada 2022, dari Rp 48,7 triliun kerugian negara, hanya Rp 3,8 triliun yang bisa dikembalikan.

“Jadi calon pelaku itu akan menghitung probabilitas atau manfaat yang dia dapat ketika melakukan korupsi itu akan jauh lebih besar ketimbang beban atau cost yang akan dia tanggung ketika dia tersangka,” jelas Diky saat berbincang dengan detikX melalui konferensi video pada Selasa, 21 Mei 2024.

Tren buruk pemberantasan korupsi di era Jokowi juga tecermin dari kinerja instansi penegak hukum: Kejaksaan Agung, KPK, dan Polri, yang belakangan dianggap kian melempem. Kejagung, misalnya, beberapa tahun terakhir memang banyak menangani kasus dengan potensi kerugian negara yang besar. Namun pengembalian uang negara dalam kasus-kasus itu masih terbilang minim.

Sebut saja kasus PT Asuransi Jiwasraya, yang merugikan negara Rp 16,81 triliun. Pengembalian uang negara dalam kasus ini baru sekitar Rp 3,1 triliun. Kemudian kasus korupsi base transceiver station (BTS), yang merugikan negara Rp 8,32 triliun. Pengembalian uang negaranya baru sekitar Rp 1,7 triliun.

Minimnya pengembalian uang negara dalam kasus korupsi yang ditangani Kejagung ini tidak ditampik Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana. Ketut mengakui Kejagung masih membutuhkan waktu untuk bisa mengembalikan kerugian uang negara dalam setiap kasus yang ditangani.

“Perlu penelusuran, pendataan, asset tracking (pelacakan aset), dan lain-lain,” terang Ketut melalui pesan singkat.

Di Polri, persoalannya bukan tentang pengembalian uang negara, melainkan profil tersangka korupsi yang ditangkap. Polri selama ini hanya berani menangkap tersangka korupsi di level pejabat pelaksana. Nyaris tidak ada tokoh besar tersangka korupsi yang ditangani Polri dalam lima tahun terakhir kecuali mantan Ketua KPK Firli Bahuri. Itu pun kasusnya masih tidak jelas kabarnya sampai sekarang.

Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Kombes Arief Adiharsa mengakui sebagian besar kasus korupsi di Polri memang masih menjangkau pejabat level pelaksana. Penyidik kepolisian, kata Arief, masih butuh pengembangan kemampuan untuk menyentuh koruptor dengan level satu atau pejabat setingkat menteri. Perlu juga dilakukan restrukturisasi organisasi agar Polri lebih berintegritas dan terintegrasi dalam penanganan kasus korupsi.

“Hal ini perlu dilakukan mengingat karena korupsi sebagai kejahatan white collar, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuatan intervensi, baik secara politik maupun ekonomi,” ungkap Arief melalui pesan singkat pada Rabu, 22 Mei 2024.

Tidak ubahnya dengan Polri dan Kejagung, penegakan tindak pidana korupsi di KPK juga kian layu. Sepanjang 2019-2023, lebih sering terdengar berita terkait KPK lantaran sejumlah masalah di lingkup internalnya sendiri ketimbang pengungkapan kasus-kasus korupsi. Meminjam istilah ICW, ini menunjukkan bahwa KPK sekarang seolah lebih mengedepankan kontroversi daripada prestasi.

Juru bicara KPK Ali Fikri tidak menampik soal adanya kontroversi di lingkup internal lembaganya. Ali justru mengapresiasi kritik yang disampaikan ICW tersebut. Ali bilang pihaknya bakal melakukan refleksi dan evaluasi terhadap kontroversi maupun kekurangan yang ada dalam lembaganya selama beberapa tahun terakhir.

“Bersih-bersih terhadap oknum di internal, kami tegas lakukan itu sebagai bagian menjaga marwah dan kepercayaan masyarakat,” ungkap Ali melalui pesan singkat kepada detikX pekan lalu.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Muhammad Nur Ramadhan menganggap buruknya situasi pemberantasan korupsi seperti yang dipaparkan TII dan ICW ini adalah buah dari disahkannya revisi Undang-Undang KPK pada 2019. RUU ini telah mencerabut independensi KPK dengan menempatkannya di bawah rumpun eksekutif.

Aturan ini, kata Ramadhan, membuat KPK, yang punya kewenangan supervisi dalam penanganan kasus korupsi untuk dua instansi lain, malah kehilangan taji. Sebaliknya, penempatan KPK di bawah rumpun eksekutif justru menjadikan lembaga antirasuah ini semakin mudah disetir oleh kekuasaan.

Ini menunjukkan betapa Jokowi sebetulnya tidak punya kemauan politik untuk menegakkan pemberantasan korupsi di Indonesia. Melainkan justru ingin mengendalikan semua lembaga penegak hukum berada di bawah ketiaknya.

Nihilnya kemauan politik Jokowi untuk agenda pemberantasan korupsi juga terlihat dari gelagatnya yang seolah abai terhadap desakan Koalisi Masyarakat Sipil terkait pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. DPR dalam persoalan ini juga setali sepenanggungan dengan Jokowi karena belum pernah mengagendakan pembahasan RUU tersebut dalam sidang-sidang di parlemen.

“Undang-Undang Perampasan Aset juga menjadi indikator buruknya penilaian pemerintahan Jokowi terhadap isu antikorupsi,” terang Ramadhan saat berbincang dengan detikX pada Rabu, 21 Mei 2024.

Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin, dan Staf Khusus Presiden Dini Purwono tidak menjawab pesan dan telepon singkat detikX ketika dimintai tanggapan terkait kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil tersebut. Adapun Wakil Komisi III DPR RI Habiburokhman mengapresiasi kritik yang disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil kepada lembaganya.

Habiburokhman mengatakan pihaknya bakal menyerap masukan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk masuk dalam pertimbangan DPR dalam upaya pemberantasan korupsi. Meski begitu, Habiburokhman mengingatkan tidak semua masukan dari Koalisi Masyarakat Sipil mungkin dapat diterima oleh DPR. “Namanya aspirasi, sering kali beragam dengan berbagai argumentasinya. Jadi tidak bisa semua masukan diterima karena banyak aspirasi masyarakat lainnya,” pungkas Habiburokhman. 

SumberDetikX

Ikuti kami di channel Whatsapp : https://whatsapp.com/channel/0029VaMoaxz2ZjCvmxyaXn3a | 

Ikuti kami di channel Telegram : https://t.me/kontenislam


Download Konten Islam Di PlayStore https://play.google.com/store/apps/details?id=com.cleova.android.kontenislam

Ikuti Kami Di Goole News : Google News Konten Islam

close