Kim Jong Un Eksekusi Mati 30 Pejabat Korea Utara, Buntut Banjir Bandang Tewaskan 4.000 Orang
Daftar Isi
Pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un, dilaporkan telah mengeksekusi mati 30 pejabat buntut banjir bandang dan tanah longsor yang melanda negara tersebut.
Sebagai informasi, banjir bandang dan tanah longsor melanda Provinsi utara Jagang dan Phyongan Utara.
Seorang pejabat yang tak disebutkan namanya, mengatakan kepada media Korea Selatan, Chosun TV, 30 pejabat itu dieksekusi pada akhir Agustus 2024.
Eksekusi mati itu dijatuhkan sebab puluhan pejabat tersebut dianggap gagal meringankan kerusakan akibat banjir bandang dan tanah longsor yang menewaskan lebih dari 4.000 orang.
Mereka didakwa melakukan korupsi dan melalaikan tugas.
Mantan Kepala Sekretaris Komite Provinsi Jagang dari partai yang berkuasa di Partai Utara, Kang Pong Hun, diyakini termasuk di antara pejabat yang dieksekusi, dilansir Yonhap.
Kang dan pejabat senior lainnya, termasuk Menteri Keamanan Publik, Ri Thae Sop, diberhentikan dari jabatannya akibat kerusakan banjir bandang.
Sebelumnya, Kim Jong Un memerintahkan pihak berwenang untuk "menghukum secara keras" pejabat yang bertanggung jawab, Kantor Berita Pusat Korea Utara melaporkan.
Ancaman itu disampaikan Kim Jong Un dalam pertemuan darurat politbiro partai di akhir Juli 2024.
Menurut laporan berita Korea Utara, lebih dari 4.100 rumah, 7.410 hektar lahan pertanian, serta banyak jalan, bangunan, dan jalur kereta api terkena dampak banjir dan tanah longsor.
Kim Jong Un sendiri menegaskan pihaknya tidak akan menerima bantuan internasional untuk menangani bencana tersebut, Associated Press melaporkan.
Ia "hanya" meminta para pejabat untuk merelokasi ribuan penduduk yang mengungsi, ke ibu kota Pyongyang, di mana mereka akan menerima perawatan yang lebih baik.
Upaya pembangunan kembali diperkirakan akan memakan waktu sekitar dua hingga tiga bulan, di mana selama kurun waktu tersebut pemerintah berencana untuk menyediakan layanan bagi hampir 15.400 orang yang rentan di berbagai fasilitas di Pyongyang.
Eksekusi Mati adalah Hal Biasa
Dikutip dari Independent, eksekusi mati menjadi hal yang lumrah di Korea Utara.
Pada 2019, Kim Jong Un dilaporkan mengeksekusi utusan nuklir Korea Utara untuk Amerika Serikat (AS), Kim Hyok Chol.
Kim Hyok Chol dieksekusi karena ketidakmampuannya mengamankan pertemuan puncak antara Kim Jong Un dan Presiden AS saat itu, Donald Trump.
Tapi, laporan terbaru mengatakan Kim Hyok Chol masih hidup dan sehat.
Korea Utara memiliki sejarah eksekusi dengan rata-rata 10 eksekusi terjadi setiap tahun, sebelum pandemi Covid19, menurut laporan Korea Times.
Jumlah itu meningkat menjadi sekitar 100 atau lebih, imbuh laporan tersebut.
"Perekonomian Korea Utara yang tidak stabil, sanksi internasional, dan dampak bencana alam, kemungkinan menjadi penyebab (meningkatnya angka eksekusi mati)," ujar Presiden Universitas Studi Korea Utara di Seoul, Yang Moo Jin.
Terpisah, Direktur Departemen Studi Strategi Reunifikasi di Institut Sejong, Chang Cheong Seong Chang, mengatakan, "Eksekusi di Korea Utara terjadi relatif sering."
"Eksekusi itu mencakup berbagai kasus, termasuk kejahatan keji, penyelundupan narkoba, serta dalam kasus yang terjadi, seperti individu yang tertangkap memproduksi dan menjual konten terlarang (drama Korea Selatan)," jelasnya.
Laporan Hak Asasi Manusia Korea Utara 2023, yang disusun dari kesaksian 508 pembelot, mengklaim adanya pola pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan kondisi kehidupan brutal yang dialami oleh warga di negara itu.
Laporan tersebut mencatat eksekusi sering dilakukan di depan umum, dengan warga dipaksa hadir.
Praktik ini dirancang untuk mengintimidasi dan mengendalikan penduduk, kata para ahli.
"Rezim Korea Utara menggunakan eksekusi publik sebagai alat untuk mempertahankan kendali dan menanamkan rasa takut pada warganya," kata Julie Turner, utusan khusus AS untuk hak asasi manusia Korea Utara.
"Masyarakat internasional harus bekerja sama untuk mengungkap pelanggaran ini dan mewujudkan perubahan."
"Di komunitas global, sangat penting menyatukan upaya kita untuk mengungkap pelanggaran berat rezim Kim dan melembagakan perubahan nyata untuk meningkatkan kehidupan rakyat Korea Utara," tuturnya.
Turner juga menggarisbawahi, situasi hak asasi manusia di Korea Utara masih "salah satu yang terburuk di dunia".
Sumber: Tribunnews